7 years later .
"Daddy!"
Aku menoleh, meregangkan kedua tanganku hendak memeluk gadis dengan rambut brunette yang digerai. Matanya sebiru lautan dan tubuhnya sangat ideal dengan gaun selutut yang dipadukan dengan boots merah muda itu. Wajahnya sangat mirip dengan ibunya. Yah, ibunya.
"How was your day, darling?" Tanyaku mengecup dahinya lembut, dia tertawa. Astaga, semua darinya mengingatkanku pada ibunya. Selalu.
Andai kau di sini, pasti kau akan sangat bangga pada gadis manis kita, Isabella.
"Aunt Sara took me to the school and invited us to the party." Jawabnya, aku mengernyitkan dahi,
"What's party?" Dia membulatkan bibirnya karena tak tahu apa yang akan dibicarakannya, "Okay, let's go home."
Abigail Clayton, gadis paling fenomenal di dunia. Setidaknya itu pendapatku. Dia lahir tanpa ibu, dan tumbuh dengan ayah yang masih duduk di bangku SMU. Entahlah, dia selalu terlihat bahagia, dan senyumnya selalu mengembang apapun yang terjadi. Wajahnya benar-benar mirip dengan Isabella. Mungkin salahku aku gagal mempersuntingnya, dan kini aku rindu setengah mati padanya.
"Dad, why we here?" Tanya Abi melepas sabuk pengamannya, aku hanya membalasnya dengan senyuman singkat. Tanganku merogoh rangkaian mawar merah di kursi jok belakang kami.
"I wondering, how was mommy look alike? Is she cute?" Aku tersenyum berusaha untuk menyembunyikan air mataku yang hampir meluncur bebas, "Daddy?"
"Yes darling? Your mommy was the most beautiful girl in the world, but you're the cutest one and no one's compare." Jawabku menggandeng tangannya berjalan menuju makam ibunya, "She would be the best mother if she was here."
"Can I meet her? Someday maybe."
"Exactly, darl," aku tertawa, dia cukup sering mengatakan hal itu semenjak bibirnya sudah lancar berkata-kata. Dan setiap kami menginjakkan kaki di gerbang geser ini.
"Daddy, don't cry." Ujarnya memeluk pinggangku, membuatku lebih tak kuasa lagi untuk tidak menangis.
Ella, aku merindukanmu setengah mati.
"Mommy, if you were here, I really want to talk with you. Just us." Bisik Abi dalam doa dengan suara imutnya, "Tomorrow is mother's day. School hold an art's performance, you were invited mommy."
Aku menoleh mengelus rambutnya yang halus, matanya masih terpejam, dia masih melanjutkan bisikannya. Tangannya merogoh ke dalam tas ransel merahnya dan mengeluarkan selembar kertas kusut.
"Aku ingin kau mendengar puisi pertama yang kubuat untukmu, Mommy. Sebelum ibu yang lain mendengarnya besok." Dia menarik nafas panjang, suaranya masih berbisik,
"Mommy,
Aku harap kau bahagia di sana,
Kami merindukanmu,
Kami mencintaimu lebih dari apapun,
Mommy,
Bisa kau bantu aku?
Jaga Daddy untukku,
Jangan biarkan dia menangis lagi,Kau adalah ibu terbaik yang tak akan pernah kumiliki,
Love,
Abigail."Aku berlutut kemudian memeluknya erat. Ya Tuhan, aku sangat menyayanginya. Tolong, jangan ambil dia dariku kali ini.
Kali ini kubiarkan Abigail yang menaruh rangkaian mawarnya di bawah batu nisan yang terukir nama 'Isabella Gilbert'. Aku mendekatkan diri, kemudian berbisik pelan sekali, "Bagaimana puisi gadis kita? Dia punya bakat yang sama denganmu."
Setelah selesai, aku mengajak Abigail untuk pulang. Pulang ke rumah yang kubeli dua bulan lalu dengan tabungan gajiku selama kira-kira tiga tahun. Walaupun hanya setengah harga. Mom yang membayarnya lunas sebagai hadiah natalku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIZE
Teen FictionWritten in Bahasa Have you ever think about who or what will end your feeling of bored being such an ugly one? Everyone just mentally feel so pity of you, it sucks, totally sucks. Life without any sort of guy who loves you but daddy, always try to b...