-35-

2.5K 220 6
                                    

Paginya, sinar matahari merembet masuk melalui celah jendela. Udaranya terasa lembab dan sedikit panas, sisa musim semi lalu. Aku menghabiskan musim semi kemarin dengan gusar karena membawa perutku yang semakin besar, aku berusaha menutupinya dengan cardigan atau sweeter panjang. Tiba-tiba aku mulai memikirkan tentang nama yang bagus untuk bayiku nanti.

Abigail.
Michael.
Eddie. Tidak, sedikit kuno.
Zach. Tidak, itu ayahnya.

"Hey, morning." Sapa Zach datang, aku hanya tersenyum.

Zach menyuapiku, kedua matanya tampak sayu. Senyumnya terlihat pudar, monokrom. Kulihat Sara dan Maddie tak ada di sini sejak pagi tadi, dan Mom memberi kami waktu hanya berdua. Aku tak tahu bagaimana perasaanya sekarang padaku? Apakah masih sama? Atau apa? Jujur saja cukup banyak momen yang ingin kuceritakan.

Seperti saat itu, di sekolah. Dia mengganti jadwal kelasnya agar sama denganku. Atau saat dia bilang aku kian mengecil setiap harinya, dan itu membuatnya takut, sedang aku sangat senang.

Tidak ada momen yang cukup membuatku kalang kabut merasakan kupu-kupu liar berterbangan di perutku. Hanya dia yang menggandeng tanganku kemanapun, dan membuatku selalu merasa lebih baik dengan pujian atau candaan. Hanya dia yang seringkali memelukku, hingga aku tak bisa menghitung berapa kali dalam sehari aku ada di dalam pelukannya. Hanya dia yang mencium dahiku ketika pergi. Hanya dia yang bertindak dewasa ketika aku mendapat masalah sepele. Hanya dia yang menangis saat menyuapiku. Saat ini.

"Zach? Kau tak apa?" Tanyaku berusaha membuatnya tidak terdengar canggung.

"Kau berada di sini dengan selang-selang bodoh ini, tubuhmu semakin kurus sedang perutmu makin buncit, wajahmu sangat pucat dan tanganmu sedingin es. Kemudian dokter sialan itu bilang kau mengidap kanker yang telah menggerogoti tubuhmu. Bagaimana bisa aku tak apa, Isabella? Kau hidupku sekarang, kau dan dia." Suaranya menjadi kacau, aku ingin sekali memeluknya namun sayang sekali tanganku hanya dapat menggapai pipinya yang basah.

"Semua akan baik saja, Zachary." Kataku menenangkannya. Aku sangat ingin mengatakan padanya bahwa rasanya sangat sakit di seluruh bagian tubuhku. Namun, melihatnya begini membuat hatiku hancur.

"Kau tidak baik, k-kau tidak baik Ella. Isabella." Dia merengek lagi, aku menggenggam tangannya erat. Menaruhnya ke dadaku.

"Aku masih hidup Zach. Jangan khawatir aku akan tetap hidup dan mengulang kejadian waktu itu di Hawaii bersamamu." Aku tersenyum melihat Zach yang berusaha mengukir senyumnya.

Tiba-tiba dia beranjak dan menempelkan bibirnya pada bibirku yang kering, menciumnya dengan tempo yang sangat lama. Aku tak berkutit, hanya menurut.

"Aku mohon, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu." Bisiknya lirih masih menempelkan bibirnya, aku mengerang, berusaha untuk tidak menangis.

Dia menyandarkan kepalaku di atas dadanya yang tertutup kaus tipis, aku dapat merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Tuhan, aku mencintainya. Tangannya mengelus pelan kepalaku. Kemudian dia menjauh sedikit dan mencium dahiku, kemudian hidungku, kedua pipiku, kedua mataku yang tertutup, terakhir bibirku. Entah mengapa aku merasa dia benar-benar hancur, aku merasa bahwa aku terlalu sibuk dengan penyakitku akhir-akhir ini.

"Aku telah memikirkan nama untuknya." Ujarku berusaha membuat keadaan membaik, mengelus perutku pelan.

"Aku sangat ingin mendengar Sean atau Laudia." Ujarnya, aku hanya tertawa kecil.

"Kukira itu Abigail atau Michael." Saranku, akhirnya bibirnya dapat mengukir sebuah senyum lama yang kurindukan. Senyum yang ada sebelum datang masa kehamilanku.

"Mereka nampaknya juga bagus. Bagaimana dengan Odellia? Atau Jason?" Aku berpikir sebentar, pura-pura berpikir.

"Aku suka Jason. Atau Bryan. Mungkin Odellia juga bagus. Bagaimana dengan Gwen? Atau Stefani? Victoria?"

"Aku pasti menyukai apapun yang kau suka." Katanya tersenyum.

"Abigail Odellia Clayton?"
"I love it!"
"Jika itu laki-laki?"
"Jason Reey Clayton?"
"Aku suka itu!"
"Mungkin kita akan buat nama lagi untuk Michael, Bryan, Amanda, Sean, dan Laudia suatu saat nanti."

Dia tersenyum, aku pun begitu. Membayangkan kami dengan 1 2 3 4 5 6 7 anak dengan semua nama itu.

"Kau tahu?" Ucapnya tiba-tiba, "Kau adalah hidupku, kau juga adalah kebutuhan semua orang di dunia ini Ella." Paparnya. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti.

"Apa jadinya Nutella tanpa Ella?" Aku tertawa lepas, kali pertama aku dapat kembali tertawa sebahagia ini, "Itu hanya setoples kacang super mahal." Lanjutnya, kami tertawa lagi.

Hatiku terasa sakit, namun aku tak peduli asalkan aku dapat tertawa bersamanya saat ini. Asalkan aku dapat bersamanya selamanya. Bersama entahlah, Abigail ataupun Jason, aku tak peduli apapun jenis kelaminnya. Aku tetap mencintai mereka berdua.

Keesokan harinya aku dapat pulang ke rumah, namun aku masih belum bisa berjalan dengan normal. Zach yang menawarkan diri untuk mendorong kursi rodaku yang kuharap hanya seminggu benar aku memakainya.

Ariel datang dengan Nick dan Hayley, mereka membawakanku rangkaian bunga mawar merah juga keranjang buah. Aku bertanya-tanya apa akhir dari berdebatan Ariel dan Charles belakangan ini. Mereka nampak kacau, ternyata pesta natal kemarin Ariel datang dengan Blake Gray. Aku tak tahu mengapa itu dapat terjadi, namun Sara langsung memutuskannya saat itu juga, tepat setelah Blake mengucapkan selamat natal untuknya. Sedang Charles dan Ariel bertengkar hebat setelahnya, hanya karena Charles pergi ke Las Vegas dengan keluarganya.

"We were enough." Jelas Ariel singkat, "He deserve someone better than me."

"You're good enough." Ujar Zach.

"No she wasn't, she hung out with someone whom got relationship with her sister, besides she was right, he deserve much better than her." Ejek Nick, aku tahu terdengar sangat jahat namun itu hanya sebuah candaan.

"Oh just shut the fuck up, Bean!" Sergah Ariel menatapku canggung.

"It's okay, don't be worry about Sara. She's fine." Ujarku tersenyum.

"I don't know about you all, but this world seems so small." Cercah Hayley berbasa-basi. "By the way, how about you, Ella? Are you okay?"

"Definitely fine, it just a cancer. And not-able to walk, but I'm good." Jawabku santai, Sara kemudian menatap ke perutku yang buncit, "Abi or Jason is good too, move the way too much."

"Cute name!"
"Thanks to the Daddy."

               Akhirnya kami banyak membicarakan tentang Abi atau Jason yang sangat sering membuatku kalang kabut merasakan tendangannya. Hari mulai sore dan mereka pamit pulang karena besok adalah hari terakhir sekolah, kemudian musim panas akan benar-benar datang.

"I want to show you something beautiful just like you." Ujar Zach kemudian mendorong kursi rodaku ke mobilnya.

Selama di perjalanan kami tak banyak bicara, kami hanya menikmati sore hari di Virginia yang terasa hangat.

SIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang