"Terimakasih Zach." Ucapku seraya duduk di sampingnya. Dia mengangguk kemudian tersenyum.
Lorong rumah sakit yang sepi, aroma khas obat-obatan, dan keadaan dimana seorang gadis terpopuler di sekolah terbaring kaku di sana bukan sesuatu yang cocok. Seharusnya hal itu lebih kepada gadis besar jelek yang kesepian.
Zach membantuku membawa Maddi yang beku ke ruang kesehatan dimana perawat Darren seharusnya duduk dengan buku tebalnya ternyata menghilang. Jadi, kami putuskan untuk membawanya sendiri ke rumah sakit terdekat. Mom yang super duper panik datang dengan handuk membelit rambutnya.
"Jadi..." Ujar Zach tersenyum lebar.
"Apa?" Tanyaku bingung, aku tak mengerti apa maksudnya. Namun ada sesuatu yang masih ganjil."Astaga, perayaan proyek?"
Aku menepuk dahi, astaga benar sekali.
"Kupikir lebih baik menundanya untuk saat ini." Ujarnya kemudian. Gerak-geriknya sedikit canggung, atau hanya perasaanku saja.
"Maafkan aku Zach, karena kejadian tadi kita tidak bisa pergi." Kataku menyesal, dia menggeleng.
"Jangan salahkan keadaan, El. Tidak apa, kita bisa pergi lain kali, bukan begitu?" Tanyanya meyakinkan, kami tertawa.
Sejujurnya aku ingin dia menghentikan sikap baiknya padaku, bukan berarti aku tidak suka dia ada di dekatku. Namun, mengingat semua orang datang hanya untuk memanfaatkanku, dan apa kata orang ketika melihat Zach pergi denganku? Plot keberuntungan? Penyihir di bahu kananku? Atau klise remaja bodoh tentang gadis jelek dan besar yang pergi dengan pria kurus serta keren. Aku juga tak bisa menyukainya sebagai laki-laki, aku harus bisa menyukainya sebatas teman dekat.
"Hey Ella." Sapa seseorang mendekat, Dylan Dauzat. "Mm aku hanya ingin kau berikan ini pada Maddi, dan katakan padanya Amathys sudah kuhabisi."
Dylan menyodorkan sebuah kotak tipis namun lebar dengan kertas kado hitam mengkilap. Aku mengangguk kemudian Dylan pergi begitu saja. Aku tahu Dylan masih mencintainya, namun sikap Maddi padanya memang kadang keterlaluan.
Hari mulai gelap, Maddi masih belum sadarkan diri dan Sara sudah menggantikan posisi Zach. Aku tak bisa memaksanya menunggu Maddi bersamaku, dia punya kehidupan yang jauh lebih penting dan keren ketimbang duduk denganku.
"Isabella." Aku menoleh, mendapati suara kecil itu berasal dari gadis dengan sweeter tebal yang duduk di sampingku. Pipinya merah karena suhu bukan flu.
"Aku minta maaf." Ucapnya lirih, "Tentang Blake." Lanjutnya. Aku sedikit terkejut.
"Tak usah dipikirkan, lagipula bagaimanapun juga siapapun tak pernah pantas untukku." Ujarku mengusap-usap lututku canggung.
"Zachary." Ucapnya, itu bukan pertanyaan.
"Dia menyukai Ariel."
"Kurasa tidak."
"Tidak?"
"Kau tahu? Dia selalu ada untukmu butuh atau tidak."
"Tidak juga, kami adalah teman."
"Kuharapkan lebih dari itu."Sara dan aku mengobrol hingga akhirnya pada pukul sembilan malam, Maddi terbangun. Benar-benar terbangun, bukanlah Maddi yang mengigau tentang Dylan lagi. Aku memberikan kotak yang diberikan Dylan sore tadi, dan reaksi Maddi benar-benar dramatis saat melihat isi kotak tadi adalah gaun cantik. Aku tahu gaun itu pasti bernilai ratusan dollar mengingat label harga yang sangat elegan dan mungkin bisa dijual dengan harga lima dollar untuk pitanya.
"Maafkan aku." Dia menangis tersedu-sedu saat melihat fotonya dengan Dylan di bawah gaun hitam tadi. Dylan memutuskan hubungannya dengan Maddi di hari jadi mereka, Dylan akan pergi ke prom dengan adiknya Ally untuk membuat keadaan membaik. Mereka tidak bisa pergi bersama karena konflik yang ada di sekolah, dan keadaan yang memaksa. Jika mereka pergi bersama, aku yakin akan ada gadis populer yang berakhir lagi di rumah sakit.
Beberapa hari kemudian.
Malam ini prom akan diadakan super duper mewah di aula sekolah. Ini berkat beberapa orang tua yang dengan baik menyumbangkan uang mereka, dan berkat orang tua Amathys yang hampir dituntut karena ulahnya sendiri.
"Bagaimana menurut kalian?" Tanya Maddi berputar dari cermin besar, dia tampak sangat cantik dan menawan dengan gaun hitam yang saat itu diberikan oleh Dylan. Tubuhnya sungguh sangat bagus dengan tatanan rambut yang diikat membentuk bunga.
Aku dan Sara mengacungkan ibu jari kami bersamaan. Mom dan Dad yang akan mengantarnya pergi tanpa teman kencan. Sedang Sara akan pergi liburan musim dingin ke Ohio tepat sebelum natal tiba. Dan aku, akan ada pesta perayaan presiden sekolah yang baru, Ariel.
"Kami tak akan pergi hingga musim dingin benar-benar berakhir."
"Kau bisa ikut ke Ohio dan menghabiskan natal bersama kami jika kau mau."
"Whoaa! Aku ingin sekali, tapi Dad akan mengundang seluruh sepupuku dari Texas untuk datang.""Sayang sekali, tapi itu akan sangat menyenangkan."
Zach menelfonku, katanya lebih baik dia mengucapkan selamat natal paling awal dari yang lain.
"Besok kau akan datang bukan?"
"Tentu saja."
"Bisa kita pergi lebih awal?"
"Ada apa? Tentu."
"Yeah, setelah acara itu kita tidak akan bertemu hingga musim semi bukan?"
"Zach, apa kau sakit atau sesuatu?"
"Ti...dak, mungkin sedikit flu."
"Baiklah, aku harus mengantar Sara ke bandara."
"Byee Isabella."
"Byee Zachary."Entah mengapa rasanya sangat mudah untuk tersenyum setelah Zach menelfon tadi. Astaga, aku tidak bisa membiarkan perasaanku berlarut-larut senang, aku pasti akan menyesalinya lagi dan lagi.
"Sepertinya dewi fortuna berpihak padaku." Ujar Sara dari ambang pintu kamarku, dia menatapku seraya tersenyum mengejek.
"Astaga, itu bukanlah sesuatu." Ujarku kesal.
"Itu memang bukan sesuatu, tapi sebuah pertanda." Katanya tertawa, astaga dia menyebalkan.
"Aku tahu kau menyukainya, dan dia menyukaimu."
"Ayolah hentikan dan kita seharusnya sudah berangkat lima menit yang lalu."
"Astaga kau benar."Kami turun dan pergi ke ruang keluarga dimana seharusnya Dad meninggalkan kunci mobil Maddi di atas surat diterimanya Maddi di salah satu universitas di New York.
"Hey Sara, dimana kunci mobilnya?" Tanyaku pada Sara yang sibuk menenteng kopernya dan tas kecilnya yang membuat dirinya semakin kesulitan.
"Aku yakin ada di sana, tepat sebelum aku naik dan membawa koperku." Jawabnya menunjuk tempat aku mencari kunci itu.
Tin... Tin... Tin...
Dengan panik kami berdua berlari ke halaman tempat mobil Chevy hijau Maddi terparkir. Dan yang kami dapati adalah sepupu aneh kami ada di belakang kemudi dengan wajah bodohnya menekan tombol klakson.
"Apa kau gila? Aku hampir kehilangan nyawaku?!" Omelku saat kami masuk ke mobil. Dia hanya tertawa dan kami tidak bergerak sangat lama.
"Sepupu! Aku hampir ketinggalan pesawatku." Gerutu Sara yang akhirnya meletakkan ponselnya.
"Kalian melupakan sabuk pengaman kalian dan itu sangat penting."
"Astaga?!""Dan untukmu gadis kecil, kau belum punya Surat ijin mengemudi yang sah untuk mengendarai mobil." Ujarnya menasehati, seperti biasa.
"Um yang pertama, kau bukan ayahku, yang kedua aku bukan gadis kecil, dan yang ketiga ayahku yang S E B E N A R N Y A terlambat enam bulan membawaku untuk mendapatkan SIM ku, karena Dad terlalu takut kami turun ke jalanan. Dan kini aku hampir 17 tahun, dan aku sudah mendapatkan SIM ku seminggu yang lalu, Mr. Brennen Taylor." Jelasku kesal, dia tertawa keras.
"Aye aye Captain!" Balasnya mengejek. Ugh.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIZE
Teen FictionWritten in Bahasa Have you ever think about who or what will end your feeling of bored being such an ugly one? Everyone just mentally feel so pity of you, it sucks, totally sucks. Life without any sort of guy who loves you but daddy, always try to b...