Salju turun sangat deras akhir-akhir ini, badai lebih sering terjadi ketimbang natal biasanya. Sudah hampir sebulan Zach tidak menghubungiku, dan selama itu juga aku sangat takut dia membenciku karena tulisanku yang aneh di syal yang kuberikan.
"Hey, Isabella." Sapa seseorang, aku mematikan layar ponselku yang hanya kugeser ke kanan dan ke kiri dalam waktu yang cukup lama. Aku menoleh mendapati Brennen memposisikan tubuhnya untuk berbaring di sofa yang ada di seberangku.
"Hubungi saja dia, itu saranku." Sarannya kemudian memejamkan mata, hari sudah hampir larut.
Aku tak mungkin menghubunginya jika tahu perkiraanku tentang dia membenciku benar. Dan aku bisa gila setengah mati jika aku tak tahu perkiraanku itu benar atau salah.
"Aku ayahnya, dan aku tahu tentangnya Isa."
"Namaku Isabella. Dan kau tetap tak bisa menjadi ayahnya."
"Baiklah, terserah kau saja. Lebih baik kau menghubunginya sekarang, atau tidak sama sekali."
"Aku pilih tidak sama sekali."
"Kau akan sangat menyesal."Aku yakin seratus persen bahwa dia tak akan pernah menghubungiku lagi. Sudah terlalu sering aku membuka ponselku dan tidak terjadi apa-apa, maksudku dia bahkan tidak memposting sesuatu di Recent Update manapun. Hidupku bahkan nampak sangat ganjil jika dibandingkan sebelumnya, maksudku dia seharusnya tidak mungkin meninggalkanku begitu saja tanpa memberitahuku, atau menelfonku seperti biasanya. Padahal baru saja kami pergi bersama dan bertukar hadiah natal paling berkesan seumur hidupku, dan kemudian dia membenciku.
Hingga akhirnya liburan musim dingin pun berakhir dan sekolah harus kembali berjalan mau tidak mau. Dengan langkah malas aku melewati kerumunan yang sibuk menceritakan kesan bodoh saat liburan musim dingin, aku bahkan tidak tertarik sama sekali karena sibuk mempersiapkan mentalku yang mulai ciut karena andai-andai bertemu dengan Zach. Poster Ariel di mana-mana, itu mengingatkanku saat Zach datang mencoba membuatku tenang, walaupun aku tahu itu hanya demi sebuah coretan A+ namun aku cukup tahu dia masih mau melakukannya.
Baru ada beberapa murid di kelas pertama hari ini, aku tahu yang lain pasti sibuk melihat poster karya wisata ke Florida minggu depan. Dan aku yakin Zach ada di sana. Aku membuka lanjutan novel hadiah natalku dari Sara yang berkisah tentang gadis dengan kekebalan tinggi dari wabah yang ada di dunia saat itu. Banyak kisah romansa di dalamnya, rasanya aku sangat ingin merasakan bagaimana sebenarnya romansa itu.
"Good morning, Isabella!" Sapa seseorang mengguncang pelan bahuku, aku menoleh pelan.
"Z--maksudku hey Hayley, apa kabar?" Tanyaku sedikit canggung karena hampir memanggilnya Zach.
"Sudahlah, kau dan dia sedang tidak baik bukan?" Dia balik bertanya seraya menaruh tas nya dan merogoh sesuatu, Hayley mengeluarkan sebuah kain yang telah penuh sobekan dimana-mana. Aku seperti mengenalnya, itu adalah syal yang kuberikan pada Zach sebagai hadiah natalnya.
"Darimana kau menemukan ini?!" Tanyaku mungkin sedikit menggertak.
"Sebenarnya aku menemukannya di kardus lost and found, kau tahu? Mr. Brent butuh asisten muda. Dan aku hanya ingin membuangnya." Jelasnya. Kini aku tahu bahwa tidak ada orang yang benar-benar menyukaiku.
"Ini punyamu?" Tanya Hayley lagi, aku menggeleng lemah. Aku tak menyangka orang yang kupercaya ternyata sangat membenciku.
Kenyataannya aku seharusnya sadar bahwa tidak sesuai dengan jalanku jika aku mengenal apa itu mencintai seseorang dengan tulus. Lagipula bila dipikir kembali, lelaki mana yang tipe gadisnya adalah gadis sepertiku. Mengapa aku begitu bodoh membuat hal ini berlarut-larut? Kupikir pada akhirnya seorang laki-laki ingin aku menjadi teman dekatnya, namun ternyata semua ini jelas berbanding terbalik dengan harapanku.
Kapan aku akan punya kesempatan yang sama dengan gadis lain?
Aku ingin merasakan masa remajaku yang nantinya tidak monoton untuk diceritakan pada anakku kelak sebagai pelajaran. Itupun jika suatu saat nanti masih ada laki-laki buta yang tidak peduli pada tubuhku dan membantuku membangun rumah tangga. Kadang aku merasa sedikit iri ketika melihat betapa mudahnya Maddi, Sara, ataupun Amathys dekat dengan laki-laki, mereka bisa saja memilih yang terbaik dari yang terbaik untuk dijadikan teman kencan dan ayah dari anaknya nanti.
Jujur saja aku merasa sangat kehilangan Zach. Saat aku tahu ternyata senyum yang diberikannya saat menerima syal itu adalah palsu, seharusnya aku tahu. Saat aku tahu dia menelfonku hanya sekadar basa basi agar sikap palsunya itu tidak terbongkar. Seharusnya aku tahu kamera itu adalah hadiah natal dari Brennen bukan Zach. Seharusnya aku tahu betapa bodohnya aku.
"Kau tak apa?" Tanya Hayley pelan.
Bayangkan saja, kau dengan perasaan bahagia memberi sesuatu yang manis untuk seorang cowok, kemudian kau baru menyadari dia merobeknya dan membuangnya. Dan kau terus berfikir bahwa dia menyukai apa yang kau berikan, namun kenyataannya adalah dunia tidak berpihak padamu.
"Hey Hayley! Hey.. Ella." Sapa Zach, aku sudah memperhatikan dia sejak tubuh kecilnya melewati jendela kaca tinggi yang mengarah koridor.
"Mm, maafkan aku Hayley. Aku baru ingat, aku harus berada di kelas kalkulus. Sampai jumpa nanti!" Ujarku kemudian pergi keluar tanpa menatap laki-laki yang akhirnya memaksaku untuk membuka hati setelah sekian lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIZE
Teen FictionWritten in Bahasa Have you ever think about who or what will end your feeling of bored being such an ugly one? Everyone just mentally feel so pity of you, it sucks, totally sucks. Life without any sort of guy who loves you but daddy, always try to b...