Sudah lewat empat bulan dari kejadian itu, kejadian dimana kami pergi membawa harapan yang kandas itu. Akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman, seolah-olah semua orang melihat ke arah perutku yang membesar atau apapun itu. Termasuk Mom dan Dad, sebisa mungkin kututupi keadaan ini. Dengan bantuan Sara, dia membantuku mengarang cerita saat aku hendak pergi ke dokter dengan Zach dan lainnya.
Semenjak kita berunding, maksudku aku dan Zach, dia memutuskan untuk menjemputku setiap harinya, dan mengantarku pulang. Bukan berarti aku seratus persen senang atas keadaan ini, aku merasa aneh jalan dengan laki-laki, maksudku ayah dari anakku tanpa status apapun. Yang benar saja. Lagipula memang aku selalu merasa aneh dengan cerita di hidupku yang kian hari kian tak menarik, aku hamil, tidak lagi memikirkan bagaimana jeleknya wajahku, atau bagaimana besarnya aku, dan hal lain semacamnya.
Jujur saja, aku lebih suka masa remajaku yang datar-datar saja. Kurasa doaku telah Didengar dan inilah balasan atas keegoanku juga ketidak sabaranku untuk menyalahkan keadaan, ketahuilah, bersyukur atas segala keadaanmu saat ini, itu akan berjalan lebih baik ketimbang membandingkan kekuranganmu dengan kelebihan orang lain. Itu tidak adil untuk fisik dan batinmu sendiri.
Pagi ini seperti biasa aku menunggu Zach menjemputku, entah mengapa pagi ini aku merasa sangat pusing dan pegal. Dari kejauhan terdengar samar suara mobil yang sudah biasa datang pada jam segini. Mataku terasa begitu berat, tubuhku seketika terasa lemah, mungkin ada hubungannya dengan usia kandunganku yang telah menginjak enam bulan bulan ini. Dengan susah payah kukuatkan kaki-kakiku yang bergetar, Zach turun dan membukakanku pintu dengan senyumnya yang manis.
"Astaga, Isabella! Kau tampak pucat sekali." Ujarnya tiba-tiba, aku menggeleng lemah. Itu gelengan paling kuat yang bisa kuberikan saat ini, "Biar kubawa kau ke dokter." Ujarnya lagi seraya pergi. Aku sangat ingin mengatakan aku tidak apa-apa, namun sayang sekali rasanya terlalu berat untuk bergerak apalagi bicara.
Semuanya gelap...
Terdengar samar beberapa orang bercakap-cakap, dan suara itu makin jelas, kemudian berhenti. Mataku mengerjap berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya putih terang yang menyorot ke arah mataku.
"Hey kau sudah sadar." Ucap seseorang dengan suara parau di sampingku, aku berusaha menoleh, namun sayang leherku bahkan tak bisa bergerak sama sekali.
Mulutku tertutup oleh masker oksigen dan rasanya tidak hanya oksigen yang ada di ujung sini, kurasa sedikit obat penenang dan vitamin. Mataku berputar-putar dengan panik, ingin aku berteriak, namun nihil. Tidak ada suara apapun.
"Jangan paksakan keadaanmu, nak." Ucapnya lagi seperti menangis, itu Mom.
"Mom." Ujarku akhirnya dapat mengeluarkan suara yang sangat parau.
"Yes baby?" Tanyanya memperlihatkan wajahnya di depanku, aku menangis, aku tak bisa bergerak. Rasanya nyeri di semua sendi.
"Where am I?" Tanyaku berusaha bicara, "Mom." Dia masih menangis di sana, berusaha terlihat tenang dan tegar.
"In the hospital babe, don't be worry everything is alright."
Aku baru ingat! Terakhir Zach bersamaku!
"Where is Zach?" Tanyaku mulai panik, kini leherku dapat bergerak kaku, terasa cukup nyeri.
"Umm dia baru saja pergi dengan Ariel."
Deg.
"Kami tahu tentang... bayi itu-"
"Aku mohon! Maafkan aku Mom! Jangan paksa aku untuk menggugurkannya!" Teriakku mulai panik dan histeris. Keadaan dimana bayiku dan aku akan menjadi santapan empuk untuk Dad dan Mom."Baiklah kami mengerti." Mom kembali menangis, tangannya menyeka setiap bulir air mata yang keluar namun sia-sia, air matanya begitu deras.
"Isabella, Mom mencintaimu, Mom tak tahu harus menyalahkan siapa saat tahu kau hamil!" Isaknya, aku hanya terdiam.
"Mom, itu adalah kecelakaan. Semua gadis di sekolah melakukannya tanpa sadar di pesta itu." Jelasku, memang kenyataannya kami pergi dari kelab itu melewati para gadis telanjang. Mom masih menangis tersedu-sedu.
"Dimana Dad?" Tanyaku lagi.
"Dia sedang menenangkan pikirannya, setelah memarahi Zach.""Apa?! Kalian tak bisa memarahinya?! Ini bukan salahnya! Oh Mom..."
"Dia ayah dari bayimu mana mungkin bukan salahnya!"
"Itu sebuah kecelakaan, Mom!"
"Kecelakaan yang amat fatal! Dan kini kau terkena kanker hati! Apakah itu dapat membuat kami semua tenang!"Dadanya naik turun tak beraturan, aku begitu terkejut dan bagian dadaku memang sakit akhir-akhir ini. Namun aku tak sampai mengira kalau itu adalah kanker. Astaga apalagi ini, aku menangis, aku ketakutan, kini aku tak bisa tenang.
"Kau mengkonsumsi obat pengguguran? Jika iya, hentikan, itu akan memperburuk semua ini." Ujarnya frustasi dengan tatapan begitu pilu, aku terdiam masih terkejut dan tak tahu harus menangis atau senang karena Mom membiarkan bayiku tetap hidup.
"Isabella." Panggil seseorang, kepalaku yang masih bersandar di bantal menengok, Daddy.
"Dad maafkan aku." Ucapku ketakutan, aku tak tahu lagi harus mengatakan apa untuk mengungkapkan betapa menyesalnya aku.
"Sudahlah, itu sudah terjadi. Hentikan obat penggugurannya." Ujarnya singkat seraya mengelus rambutku.
"Dad, dimana Zach?" Tanyaku, "Jangan memarahinya, ini salahku, bukan salahnya." Lanjutku ketakutan.
"Dia bilang dia akan bertanggung jawab atas bayinya, dan juga amarahku, lagipula kami semua ingin kau selamat." Ujar Dad dengan suara parau, aku mengangguk pelan.
"Dia akan kembali esoknya." Ujar Dad lagi, menunjuk ke arah jam dinding yang dapat ku intip dari ujung mataku. Baguslah, pukul dua pagi.
"Kau pingsan selama dua hari, dan hampir kehilangan nyawamu." Jelas Mom seperti tau apa yang ingin kutanyakan.
Aku berusaha menegakkan tubuhku, aku tak tahu namun berat badanku tak kunjung naik seiring perutku yang makin besar. Kaki dan tanganku juga semakin kecil. Aku turut senang namun sedih ketika melihat banyak selang menempel di tubuhku, perutku terlihat mencuat dibalik baju aneh ini. Sangat mengiris rasanya, aku ingin keadaanku dulu, dimana aku dapat pergi dan berjalan bebas, dimana aku mendapat cemoohan, dan dimana aku bisa menjalani masa remajaku yang konyol. Tuhan, maafkan aku terlalu egois, namun aku ingin masa remajaku yang sehat kembali.
"Apa yang terjadi?" Isakku melihat semua selang yang menempel pada tubuhku, dimana letak nyeri berasal saat ini. Aku menangis, aku tak tahu lagi, rasanya harapanku seperti hilang.
"Sebagian tubuhmu terinfeksi, dan kami berusaha melindungi janinnya." Ujar Dr. Gale dengan senyum tipis, aku membaca name tagnya.
"Harus janinnya."
A/n halo halo temannn, maaf sekali kalau sudah ga kerasa feelnya, soalnya aku juga lg banyak tugas dan ulangan jadi hobiku tidak tersalurkan dengan baik, begitulah hehe. Besok liburan In syaa Allah aku benerin lagi); maaf yaaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
SIZE
Teen FictionWritten in Bahasa Have you ever think about who or what will end your feeling of bored being such an ugly one? Everyone just mentally feel so pity of you, it sucks, totally sucks. Life without any sort of guy who loves you but daddy, always try to b...