Matahari telah berada pada titik paling tinggi yang dapat diraihnya, sama halnya seperti mereka yang telah meraih titik terjauh mereka berkelana berdua saja. Lousiana. Tempat dimana seharusnya Dr. Amelinda Rad duduk di depan mesin èspresso nya dengan tenang. Namun sayangnya, hari ini dia harus pergi lebih cepat untuk sebuah konferensi gabungan.
Angin berhembus, membuat Ella sedikit menggigil karena musim semi tak kunjung habis juga. Zach menata kamar yang akan dipakai Ella hingga esok. Pamannya begitu baik meminjamkan villanya yang ada di dekat danau.
"Aku bisa membantumu." Ujar Zach kaku, Ella yang duduk di atas kopernya kemudian berbalik dan tersenyum simpul. Zach merapikan poninya canggung.
"Aku akan melakukannya sendiri." Cercah Ella singkat kemudian berlalu dengan menggeret kopernya ke sebuah ruangan dengan ranjang yang besar dan seprai putih. Sebenarnya kamar itu adalah kamar utama.
"Zach, lebih baik kita bertukar."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, kamar ini terlalu luas untukku sendiri."
"Apakah itu sebuah pertanda?"
"Apa? Tentu tidak, Zach, ugh!"
"Hahaha aku mohon, tersenyumlah."Ella hanya terdiam, menahan senyuman yang sangat ingin Ia ukir, menahan sejuta kata yang ingin Ia katakan betapa menyesal dirinya. Ayah dari anaknya sangat ingin menggugurkan janinnya, ayah dari bayinya bahkan membuatnya hamil dan kembali dalam waktu yang cukup membuatnya lelah menunggu. Untuk itu, masih sulit untuk menenggelamkan perasaan buruk itu lagi.
"Jangan buang waktumu Zach." Katanya sedikit ketus.
"Maafkan aku, El. Aku akan membuat makan malam di sana." Ujarnya menunjuk dapur dengan kaku. Kemudian yang tersisa hanya punggung Zach yang pergi menjauh.
Sudah beribu maaf yang ia lontarkan, namun Ella masih tak dapat dengan mudah mengatakan bahwa ia telah memaafkan pria berjambul itu. Entah mengapa Ella bahkan tidak bisa merubah sikapnya pada Zach, kadang rasa ingin untuk mengatakan bahwa rasanya salah jika ia harus menggugurkan bayi itu. Kadang kala ia merasa bahwa jalan itulah yang terbaik.
Mereka duduk di meja makan berselimut sepi, rasanya begitu menyiksa. Faktanya daging asap Zach terasa sedikit hambar tanpa obrolan sedikitpun. Beberapa kali mereka membuka mulut untuk membiarkan kata-kata muncul, namun sekali lagi hanyalah kesunyian yang membebani.
"El, aku mohon." Ucap Zach tiba-tiba memecah kesunyian, Ella mendongak mereka hanya bertatapan canggung.
"Kurasa semua ini adalah salah. Maksudku dia hanyalah korban." Cercah Ella dengan mata berkaca-kaca,
"Dari awal, semua ini memang salah, El. Aku hanya tak ingin kehilanganmu! Aku mohon! Aku mencintaimu!" Sergah Zach dengan tatapan frustasi, rambutnya acak-acakan dan pikirannya berantakan, dia menyayangi gadis itu, sangat amat. Dia tidak mungkin kehilangan gadis yang dia sayangi, lagi.
"Kalau begitu cobalah sayangi dia juga! Ini bukan salahnya!" Ella tak bisa membendung tangisnya lagi, seketika dunia menjadi gaduh oleh emosi dan tangis.
"Aku hanya tak ingin kehilanganmu, El! Aku mohon!"
"Aku janji semua akan baik saja."
"Tidak! Semua tidak akan!"
"Dia adalah korban! Dan jika dia pergi, aku juga akan menjadi korban remaja bodoh yang gila seks!""Itu adalah kecelakaan--"
"Dan inilah resikonya! Mau tidak mau! Suka tidak suka! Kau tahu mengapa Dad tidak mengijinkan kami hamil? Itu karena kami punya penyakit keturunan terhadap obat aborsi! Semua obat aborsi! Dad tahu inilah jalan yang akan diambil anak-anaknya jika hamil seperti istrinya saat kuliah!" Jelas Ella panjang lebar. Zach hanya terpaku, bahkan dia tidak tahu bahwa ternyata Ibu Ella yang terlihat begitu muda memang masih sangat muda. Dia yakin, orang tua Ella pasti merasakan betapa beratnya menjadi ayah sebelum dia mapan, bahkan masih menjadi seorang mahasiswa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIZE
Teen FictionWritten in Bahasa Have you ever think about who or what will end your feeling of bored being such an ugly one? Everyone just mentally feel so pity of you, it sucks, totally sucks. Life without any sort of guy who loves you but daddy, always try to b...