Ketiadaan yang Dinikmati

16 1 0
                                    

Satu hal yang paling kami senangi dari Pakde adalah, beliau ini orangnya kalau sudah cerita bisa berlarut-larut.

Misalkan ada satu anak yang Pakde ceramahi, bisa bersambung ke cerita lain. Akibatnya? Kita bisa dengan senang hati tentu saja, terancam gagal latian fisik. Yash.

Ditambah karena umur yang sudah cukup lanjut, beliau ini suka lupaan.
Pernah suatu waktu, jadwal kami dalam dua minggu itu dimulai dengan skipping. Tapi baru mencapai hari jum'at, beliau sudah mulai lupa.

Selepas kami pemanasan dan lari 5 putaran, beliau nggak langsung nyuruh kami ambil skipping. Bahagialah kami, saling pandang-pandangan. Teriak dalam hati.

Eh, dengan seenak-udelnya mas Faiz ngeluarin skipping dan main didepan kami semua.
Gue? Tepok jidat.
Anak-anak lain ngedumel pelan-pelan.
Mampus. Mampus. Mampus. Pakde inget. Yah yah yah.....

"Lah iya, Pakde lupa! Kenapa nggak ada yang ingetin ini? Ambil skipping!"

Lalalalalalalala.
Musnah sudah harapan kami untuk mengistirahatkan kaki dari siksaan-siksaan tersebut.
Semua hanya gara-gara seorang mas Faiz.
Kami ngumpul barang 10 detik, kemudian melemparkan tatapan tajam ke mas Faiz. Saking tajamnya, mungkin bisa bikin mas Faiz kurus seketika. Meletus.

"Apaan si? Kok jadi gua. Lu pada mau juara gak? Yaudah kerjain!"

Sialan. Kata keramat itu lagi yang keluar.
Tapi memang nalurinya begitu. Kami semua, bahkan mungkin kebanyakan atlit, ingin menjadi juara. Tapi pasti hampir semua atlit, malas latian fisik.

Memang siapa sih yang rela sepenuh hati kalau dikasih latian fisik?
Dasar, nggak tau diri.

Maka begitulah kami menikmati hari-hari dimana Pakde nggak dateng untuk ngelatih, karena ada sebuah keperluan atau apalah.
Setiap detik yang berjalan kayaknya nggak kami ikhlaskan banget.

Seperti pada chapter sebelumnya yang sudah gue bahas, setiap Pakde absen melatih maka gue dan mas Faiz lah yang dinobatkan untuk bertanggung jawab. Disitulah peran anak yang dituakan bisa berfungsi.

Tapi toh, nggak semua anak bisa nurut diperintah-perintah sama gue. Mereka mungkin masih takut sama mas Faiz, tapi sama gue? Nggak ada harapan.

Cuma segelintir anak kecil saja yang bisa dengan mudah gue perintah sesuai amanat pakde tentu saja. Sisanya, gue nyerah bahkan sebelum latihan dimulai.

Tapi percayalah, dengan kegondokan gue yang memuncak kala amanat Pakde tidak berjalan dengan lancar, sebetulnya gue pun sambil menikmati keindahan yang jarang terjadi ini.

Disaat gue kesal kalau anak-anak sulit diatur, disisi lain gue pun acap kali tidur-tiduran, bahkan main hp kalau nggak kebagian main game.
Dasar nggak tau diri.

Pernah suatu hari, gue berbincang-bincang dengan Ratnang ditengah sibuknya latihan yang bebas dari siksaan.

"Kacit, kenapa sih Pakde ngga dateng? Ngga enak tau, kalau ngga ada Pakde."

"Iyasih bener..."

"Bener kan? Main game tapi pada males-malesan mainnya."

"Iya nang, gue juga suka kesel. Padahal kapan lagi latihan bisa senikmat ini ya."

"Nah itu..."

"Ah tapi yaudahlah, jarang-jarang ini kan. Nikmati aja kalau Pakde ngga ada. Kelak lo bakal menarik kalimat lo lagi, kalau Pakde ada. Hiiiiiiih, seram."

Dari percakapan tersebut, bisa disimpulkan bahwa ketiadaan Pakde bisa jadi menyenangkan. Terbebas dari siksaan.
Tapi sebenarnya, siksaan lain sedang menanti kami.

Waspadalah.
---
@lcitragustin

Ngeselin sih, tapi...Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin