♡Pernikahan Khumairoh♡

151 5 0
                                    


Ijab  Kabul  telah  dilaksanakan  dirumah besar milik keluarga  Khumairoh. Kemudian dilanjutkan  dengan  walimah urusy  yang    digelar  dihotel  ternama,  dengan  undangan  yang  hampir  mencapai sekitar kurang lebih lima ratus  orang. Aula  pernikahan  didekorasi  dengan dengan  konsep  Islami.

Khumairoh terlihat anggun  plus  menawan dengan balutan busana pegantin mewah berwarna putih. Wajahnya tertutupi niqab membuat sebagian para  undangan  penasaran dengan wajahnya. Lelaki  yang  menjadi  pasangannya ,  Rafiq  Asy’Syafi juga tak kalah menawan dengan bulu-bulu halus di sekitar dagu hingga mencapai pipi bawah. Bentuk wajah  aristokratnya  serta  matanya  yang  hitam  kecoklatan memancarkan  auranya  yang sungguh mempesona.

“Mereka  benar-benar  pasangan  serasi,” Zahra berbisik pada  dirinya  sendiri,  dari  tempat  duduknya  yang  agak  jauh  dari  pasangan  pengantin  itu  berada.
Tanpa ia sadari ada dua pasang  mata yang memperhatikannya   dengan kagum dibelakang,  tidak  jauh  darinya. Malam ini zahra  terlihat  sangat modis dan  elegant  dengan gaun muslimah  berwarna  dusty,   atasannya dari pinggang keleher dilapisi tile dan  bagian pinggang atas  sampai  bawah  merupakan  lipitan  yang  dihiasi  pita  kecil  bagian  pinggangnya menampakan  kelangsingan  tubuhnya  yang  mungil, dipadu  pasmina berwarna senada.

“Iya. Mereka  memang  pasangan  serasi,  in  Shaa Allah  tidak  akan  lama  kita  susul  nanti.” bisik  sebuah  suara yang telah dihafal telinga dan otaknya. Gadis  itu  menoleh  kearah  sang pemilik  suara  itu, sempat tidak percaya pada indranya. Zahra  tersedak  air mineral saking terkejutnya. Fatih ada di depannya. Zahra  mengerjapkan matanya  beberapa kali nyaris merusak  riasan  pada matanya. Dan ... nakal sekali mulut Fatih itu. Begitu mudahnya membuat pernyataan yang bisa saja menciptakan ontran-onttan dalam diri seseorang. Mirip bramacorah.

“Aku nyata Ra,  kamu  akan  merusak  riasanmu jika  terus  mengedip-ngedipkan  matamu  seperti  itu.” Fatih  mengulum senyum.

“Bagaimana  kakak  ada disini, bukannya  di  Jog---“

“Iya,  aku  tiba  kemaren, sengaja  ingin  memberi kejutan, sekaligus  memenuhi  undangan. aku pasti usahain menghadiri  hari bahagia mentor  aku dong.”  potong  Fatih. Senyumnya tak kunjung hilang. Zahra speechless.

“Aku juga membawa  sahabat  aku  di Jogja, dia  teman  seasramaku.  kata dia  kalian satu SMA dulu."

“Oh ya? siapa namanya kak?”  tanya Zahra antusias.  Penasaran siapa gerangan teman SMA yang  masih mengingatnya itu.

“Namanya  Hus...."

“Assalamualaikum  Mutia  Az-Zahra.”  timpal Husain.

“Waalaikumussa ...."suara Zahra  terhenti  ditenggorokan. Sendi putar pada lehernya terasa kaku.
Zahra mengerang frustrasi.
Tidak mendapat respon, cowok itu  tersenyum. Lalu memperbaiki sikap. Setidak Zahra tidak mengusirnya. Hanya bersikap defensif.
“Lama  tidak  bertemu  Zahra.  kamu kian menawan sekarang,” puji Husain,  binar bahagia tampak  begitu jelas  di wajahnya. Bukan dibuat-buat untuk mendapat simpati Zahra.
 
Fatih memandang keduanya dengan sorot aneh, mengamati ekspresi Zahra yang mirip dengan orang frustasi.

Fatih mengernyit, "Ra, ada apa?"

Zahra memaksakan senyum. Gerak simetris buatan, hanya bibir yang bergerak. Asal tahu saja, ikhlasnya senyum seseorang bisa dilihat dari matanya. Kekecewaan dan luka menggumpal dimata gadis itu yang bulat bening. Ia mendongak menatap kelip-kelip lampu ruangan. Berharap agar retinanya tak merespon cahaya, dan warna. Biar sosok Husain tak terlihat olehnya. Cukup Fatih saja.

Dia Husain  Al-Kautsar. Pria  yang  membuatnya  mengenal  cinta sekaligus  rasa  sakit yang  mengerikan.
Ia berusaha abai pada  cinta pertamanya itu. Tetapi indranya tak bisa diajak kompromi. Netranya betah dan memaksakan memandangi Husain. Naluri liarnya membisik, lihatlah Zahra. Husain ... Wajah  indonya menampakkan kegagahan, kian  dewasa, kharimatik, itu kesan yang ditangkap indranya.

Tak mendapat respon, Fatih bertanya lagi."Ra, kamu tidak menyalami dia?" Kembali Zahra melemparkan tatapan kearah Husain. Terbersit rasa iba melihat  pria itu.

"Dia siapa ya kak?" Zahra tahu, ini bukan sikap berperikemanusiaan. Tapi mengingat bagaimana sikap Husain dulu, membuat seluruh oksigen serasa tercabut dari paru-parunya. Zahra mengipasi dirinya dengan jari. Berakting kegerahan bak aktris amatiran.

"Kak, disini atmosfirnya tiba-tiba berubah, aku cari udara segar dulu," pamitnya. Lalu seperti mengingat sesuatu, Zahra menambahkan, "aku bisa saja tidak kembali, ada urusan selesai ini."

Fatih menyipitkan mata, "aku antar."

"Nggak!" Zahra kelepasan. Ia memaksakam lagi seulas senyum. "Nggak usah kak, kan ada Husain disini."

Husain tersenyum, Fatih mengernyit. "Bukannya tadi kamu tidak mengenalnya?"

Zahra nyengir kuda, "Aku tadi amnesia dadakan, efek skripsi nggak kunjung di acc kali kak."

"Udah deh, Ra. Kamu nggak usah bohong."

"Please kak!" Zahra merasa sekarang emosinya benar-benar merangkak naik keubun-ubunya. Ia beristighfar dalam hati "tolong, kak Fatih tetap disini ya, Mai pasti  nanyain  aku, aku  benar-benar  lupa  kalau  hari  ini  aku  ada  konsul  dengan  dosen  pembimbing,  jadi  aku  minta  tolong  ke kakak  buat  nyampein  permintaan  maaf  aku  ke Mai karena  pergi  ditengah  acara.” 

Fatih tidak percaya, ia mencari-cari kejujuran dimata gadis itu.

"Ra, kamu beneran tidak apa-apa kan?"

Terbawa emosi, Zahra merasa sekelilingnya berputar,“Ya Ampun! Eyang Fatih,  aku  gak  apa-apa,  udah  tiga  kali  ngulangin  pertanyaan  itu  tau  gak!" Ia melangkah pergi, mengabaikan Fatih yang sedikit tersinggung.

Baru beberapa langkah Zahra menjauh, ia baru saja merasa menghirup oksigen. Tiba-tiba pergelangan tangannya terasa tertarik dari belakang.

"Aku tahu kalau kamu menghindari aku.” Zahra berbalik dan menjumpai Fatih memegang tangannya. Ia tersenyum masam.
Satu tangannya dipakai untuk mengusap wajahnya. "Kalau kamu tahu kenapa masih mengejar saya, itu hanya pekerjaan orang idiot tau nggak." Mata Zahra tak dapat menyembunyikan kejengkelan.

"Dan tolong lepaskan tangan saya, saya tidak mau jadi pusat perhatian di sini," lanjutnya lagi.
Dari kejauhan, Fatih menyaksikan keduanya. Ada kecamuk dalam dirinya.
Apa gara-gara Husain sehingga Fatih bersikap begitu?

Akasara Cinta  Dalam  Bait DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang