♡Bahagia yang masygul♡

70 3 0
                                    

Semilir angin laut malam berhembus kian dingin.
Riak lautan mempesona dibawah terpaan sinar rembulan. Sembari menikmati pemandangan menakjubkan. Husain  menyesap kopi pahitnya. di beranda belakang rumahnya yang menghadap lautan. Pikirannya seliweran, menanti-nanti, hal yang kadang membuat uring-uringan hingga membuat urakan. Memang, tidak ada penantian yang menyenangkan. Menunggu putusan Zahra, sungguh bikin keki sebulan ini. Kunjungannya waktu itu, Zahra memang, tidak mengatakan batas waktu untuk keputusannya. Namun, waktu yang sebulan, bukankah berlebihan juga? Bahkan orang tua Zahra juga tak pernah memberi kabar. Ah...

Tetiba bunyi ponsel mengganggu carut marut pikiran Husain saat ini. Ia terperangah mendapati nomor acak yang tertera  di ponselnya, dengan nama Fatih.

“Assalamu’alaikum," sapanya, sebenarnya Husain ingin langsung menyemburnya dengan pertanyaan. Tapi di sisi lain dia tidak ingin merusak momen ini.

“Waalaikumsalam Husain, gimana kabar kamu?” suara Fatih tidak sehangat biasanya.

"Allhamdulillah baik Fat, kamu sendiri?”  hening sejenak.

"Aku juga."

"Syukurlah ... anyway, kau masih ingat sahabatmu ini?" Ujar husain diplomatis. Pertanyaan, dari sekian banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Jarang-jarang, bahkan tidak pernah Fatih menghubunginya sejak mereka berpisah di Jogja dulu. Ada ya, sahabat yang nyaris saling melupakan.

“Ah, ya ....” sahut Fatih, dia tertawa sumbang “Sorry dude ... aku melakukan banyak perjalanan beberapa bulan ini, mengunjungi beberapa daratan  asing hingga ada yang terasa asing.”  'termasuk persahabatan kita'  lanjut Fatih membatin.

"Banyak melakukan perjalanan hmm? So, adakah yang kau temukan dari semua perjalananmu itu?" Husain terkekeh memperbaiki kecanggungan. Meski ini percakapan yang terhubung melalui gelombang elektromagnetik. Kecanggungan itu jelas Husain rasakan.

Fatih berdehem. Seolah ingin mengeluarkan lendir yang melekat di tenggorokannya. Kemudian dia tertawa pahit..

"Ada ... namun, aku terlambatm" Sahut Fatih sembari menghela nafas berat. Ia ingin melanjutkan bahwa; kamulah orang yang beruntung, yang membuat aku menelan pil pahit dari keterlambatan.

Husain ikut tertawa.

"Kau hanya perlu melakukan perjalanan lagi, Tih." Husain menjeda. "Kau tau kan? Hakikat perjalanan adalah tentang pencarian, tentang menemukan hal-hal asing dan tentang menemukan hal yang tidak akan di lepas."

“Sepertinya begitu, Sain.”  jawabnya dengan helaan nafas berat.
"Kau selalu bijak, barangkali itu alasan nasibmu selalu lebih beruntung dariku." Fatih menghela nafas lagi, menggelitik telinga Husain. Nada bicaranya pesimis. Memanglah, sejak penolakan lamarannya, Fatih menjadi pria pesimis.

"Kau ngomong apa sih, Fat? Pesimis gitu? Ayolah ... nasib emang udah ada yang nentuin, tapi kita masih bisa berusaha untuk memperbaikinya. Mungkin, Tuhan ingin melihat kegigihanmu." Husain tidak mengerti dan tidak akan mengerti perasaan sahabatnya itu sekarang, makanya segampang itu bicara.

"Apa Tuhan akan mengerti, jika kegigihanku nanti berimbas menyakiti orang lain?" Balas Fatih, ambigu.

"Maksud kamu? Menyakiti orang lain? Kau ada masalah apa sebenarnya?" Husain merasa ada yang ganjal. Sahabatnya itu, selain pesimis, sekarang dia terdengar picik. Fatih bukan tipe orang yang gampang terpengaruh. Jadi, kecil kemungkinan jika perjalanannya selama ini adalah akibat untuk degradasi karakternya. Fatih kembali tertawa pahit. Menertawakan diri sendiri

"Aku nggak tahu, Sain. Aku merasa sia-sia, merasa nggak punya harapan lagi. Mati rasa kayaknya," sahut Fatih. Pilu masih tertancap sempurna di hatinya. Dalang yang tepat untuk membunuh rasa.

Akasara Cinta  Dalam  Bait DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang