Sepulang dari sekolah tempat zahra mengajar. Tersisa dua meter lagi jarak yang harus ditempuhnya agar sampai rumahnya. Dalam jarak itu ia mendengar riuh obrolan perempuan yang diselingi suara balita. Dari dalam rumahnya.
Kendatipun, pertanyaan memenuhi benaknya ia tetap memberi salam, sembari kakinya menjejaki anak tangga teratas memasuki pintu."Waalaikumsalam." Itu sahutan yang serentak. Zahra terperangah kaget.
"Akhirnya Zahra nongol juga," ujar seorang perempuan muda seusia Zahra. Senyumnya sumringah. Dia Wina, sahabat Zahra sejak Masih TK dan mereka berpisah saat tamat SMP. Wina menggendong seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia tiga tahun. Zahf a habatnya sejak SD juga, tapi Lin diboyong ke bogor oleh orang tuanya waktu kelas empat SD. Lin keturunan Tionghoa. Terus, Marni si pemilik kulit eksotik, sahabatnya yang berdarah Bugis tulen. Mereka berempat adalah sahabat sejak kecil. Sebenarnya berlima, tapi kayaknya yang hadir hanya tiga orang ini. Semuanya berubah banyak. Lin bermata sipit khas asia, ia juga berhijab besar seperti Zahra, menutupi kulit putih mulusnya, tapi jelas terlihat perutnya membuncit di balik gamis longgarnya. Sedangkan Marni dengan tubuh tinggi semampai, sibuk mengawasi anaknya yang hyperactive.
Ada yang kurang. Rania nggak ada di sini. Batin Zahra. Rania adalah sahabat Zahra yang paling dekat. Mereka berpisah setelah tamat SMA.
"Ra, ngomong dong! Lo kok kek nggak suka gitu ngeliat kita-kita?" Ujar Marni. Dia merasa Zahra pendiam sekali, dan ekspresinya datar begitu. Dia nggak tahu saja, kalau Zahra meraa sedang ditimpuki kejutan yang tidak terduga.
"Maaf, maaf... aku terlalu kaget dengan keberadaan kalia di rumah aku. Ini seperti mimpi tau nggak," katanya dengan ekspresi berlebihan.
"Kenapa? Lo beneran nggak suka?" Kini Lin yang mendesak. Pura-pura ngambek.
"Ya Allah ... su'udzon banget kamu Lin," timpal Zahra. Dia masih betah pake kamu-aku, di saat sahabatnya memakai Lo-Gue. Khas pedesaan sekali dia.
"Gimana ceritanya sih, kalian bisa ngumpul di sini?" Tanya Zahra kemudian. Ketiga sahabatnya saling pandang. Lalu tersenyum.
"Ra, grup Khusus Alumni SD 06 yang di WA, cuma Lo yang nggak ada, jadinya kita kompakkan buat ngunjungin Lo rame-rame, itung-itung reunian kan? Yah walaupun hanya kita berempat sih yang datang. Yang lainnya, ada yang di luar negeri dan di daerah-daerah yang jaraknya bukan main dari sini," Jelas Wina, perempuan berdarah Betawi.
"Berempat? Satunya siapa?" Tanya Zahra.
“Silakan diminum, anggap saja rumah sendiri nona dan nyonya”celetuk Rania, ia muncul dari dapur, bagai dialah sang pemilik rumah. Zahra kembali terperangah. Gadis itu menutup mulut dengan tangannya.
Rania langsung menarik Zahra dalam pelukkannya, setelah meletakkan nampan di atas meja.
Rania adalah sahabatnya yang sudah seperti saudara kandungnya sendiri. Rania, bertubuh mungil, ada gris lesung di pipinyatiap kali dia tersenyum. Mereka berpisah karena Rania melanjutkan studinya di Bandung.
Betapa pun canggihnya teknologi sekarang, tetap saja tak membuat mereka dekat seperti dulu.
selalu ada yang merasa diabaikan diantara mereka walaupun itu lebih dirasakan oleh Zahra. Selain, karena sinyal yang terbatas di desa Zahra. Pun karena Zahra adalah tipe ambivert yang agak krisis percaya diri.Mereka mulai mengobrol panjang lebar setelah mengusaikan salat Dzuhur berjamaah. Obrolan seputar masalah percintaan, rumitnya kehidupan rumah tangga hingga tentang perhiasan dan pakaian. Begitulah dunia perempuan, mampu menghabiskan waktu dengan pembicaraan yang mungkin tidak berguna bahkan menjerumuskan ke lembah dosa, salah satu alasan kenapa penghuni neraka adalah mayoritas kaum perempuan. Wawllahualam.
“Ra, aku akan menikah dua minggu depan," tutur Rania. Dialah orang yang sangat berperan besar dalam reuni hari ini. Karena ia ingin mengabarkan pada sahabat-sahabat lamanya itu. Zahra tersenyum. Rasa syukur dan sedih bercampur dalam hatinya. Bersyukur karena Rania akan menikah, dan sedih karena tinggal dirinya yang belum didatangi jodoh.
“Papa-pa-pappapah.” terdegar celoteh tidak jelas dari anak Marni.
“Wahh anakmu sepertinya lebih fasih nyebut papanya, Ni,” ucap Lin sembari mengelus perutnya. Mereka tertawa.
“Masya Allah, yang mau nikah ... semoga acaranya dilancarkan dan barokah. In Shaa Allah aku akan berusaha meluangkan waktu untukmu Ran,” ucap Zahra sambil mengelus pipi anak Wina.
"Lo ... lo pada harus, wajib dan kudu datang dinikahan gue," tegas Rania.
"Maksa banget lo Ran, giliran gue yang nikah, cuma Lin doang yang dateng," cetus Wina.
Mereka tersenyum.
"Yah ... lo nikah saat kita lagi sibuk-sibuknya kuliah, Win," ucap Marni, yang lain mengangguk setuju.
"Kalo aku, malah nggak tahu kapan kamu nikahnya, Win." Zahra memasang tampang polosnya.
"Ya iya, lo kan emang malas tahu urusan kita-kita," sahut Lin.
"Bukan gitu Lin, tapi aku emang nggak tahu kalian pada kemana dan hilang gitu aja, di medsos juga pada nggak temenan ama aku kan?" Zahra beralibi. Karena sebenarnya dia juga sibuk dengan dunianya sendiri sejak mereka berpisah sejak SD dulu.
"Udah deh! Yang penting sekarang kita udah ngumpul bareng lagi, dan kita nyempetin datang ke acara nikahannya Rania." Kali ini Marni menengahi. Dia yang paling berpikiran dewasa dan paling bijak.
"By the way, Lo kapan nyusulnya Ra?" Tanya Wina tiba-tiba. Zahra seharusnya sudah menduga pertanyaan ini. Tapi karena ia terlena dengan kebersamaan mereka ia melupakan pertanyaan ini, dan akhirnya ia tidak menyiapkan jawaban yang pas. Sekarang dia kebingungan. Dari sekian pertanyaan. Pertanyaan macam ini yang paling horor.
"Nanti kalo jodohnya udah nyamperin aku," jawab Zahra Asal.
"Lo kek yang nyamperin, biar cepet. Kalo nunggu mulu, kapan datangnya, iya nggak?" Ucap Lin.
"Ya Allah Lin, jodoh itu udah di tentuin," timpal Zahra.
"Iye, udah ditentuin tapi kalo nggak diusahain, ya ketentuannya kemana-mana kan." Lin menyahut sengit. Zahra bingung harus membalas bagaimana ucapan Lin.
"Ya aku belum liat hilalnya Lin. Tunggu aja ya, kamu pasti diundang kok kalo jodoh aku udah datang," tutupnya santai, sambil tersenyum.
Mereka berpisah setelah salat Ashar berjamaah. Diakhir dengan adegan peluk-pelukan dan cipika-cipiki.
Sepeninggal sahabat-sahabatnya itu. Zahra memasuki kamarnya dan terpekur. Ia memikirkan banyak hal. Ia berpikir sudah saatnya ia membuka diri untuk cinta yang baru. Ia tidak akan terus-terusan seperti ini, lagipula Fatih barangkali tidak akan kembali padanya setelah tahu Zahra dilamar Husain. Ia harus sudah memberikan jawaban pada Husain dan keluarganya. Zahra sudah terlalu lama menggantung keputusannya, lantaran ia terlalu lama mendekam dalam cinta yang tak menemuka labuh. Ia harus bisa move up, bukan move on lagi. Ia tidak boleh terpuruk lagi.
------------------------------------------------------vomentnya yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Akasara Cinta Dalam Bait Doa
De TodoDaku mencinta-Mu dengan dua cinta Satu karena hasrat dan satu karena Kaulah yang paling layak Hasrat-hasrat adalah karena kesibukanku mengingat-Mu daripada selain-Mu Kelayakan-Mu adalah karena Engkau telah bukakan tabir hingga daku dapat melihat...