Sejak 1 jam yang lalu, keenam pasang mata di ruang serba guna ini terus terfokus pada guru budang kesiswaan yang memimpin rapat kecil-kecilan. Enam orang ini terus saja berharap agar keinginannya terwujud, apapun akan mereka lakukan. Namun, semua keputusan tetap berada di tangan guru yang kini berdiri di tengah-tengah mereka.
Beberapa kali, pulpen dalam pegangan David bergerak menulis sesuatu pada buku kecil yang dititipkan oleh Camila sebelum David benar-benar menuju ruang serba guna ini. Dan kini, David sangat berterima kasih pada Camila, buku kecil ini sangat berguna bagi David.
"Sesuai hasil pembicaraan saya dengan pihak sarana prasarana, karena alat-alat lab fisika yang kurang memadai, untuk sementara lab fisika bisa dijadikan kelas." David sontak menoleh pada Fina yang kini juga tersenyum lebar padanya.
"Supaya kegiatan belajar mengajar bisa berjalan efektif, kita langsung ambil jalan tengah yaitu tetap seperti kelas 11 saja ya?" David dan Fina mengangguk setuju. Selain itu, Yola ikut mengangguk setuju.
Mungkin karena merasa hak suaranya sama dengan yang diinginkan, Yola pun mengiyakan dan setuju untuk tetap kelas 11. Seperti yang David ketahui saat rapat kemarin, awalnya kelas XI MIA 4 inginnya tetap, tetapi setelah penjelasan dari Yola soal penawaran yang diajukan, akhirnya XI MIA 4 meminta untuk diacak lagi saja. Namun, jika sudah seperti ini, XI MIA 4 akan tetap mempertahankan pilihan awalnya, tidak dipisah.
"PAK!" David dan Fina sontak menoleh secara bersamaan pada seorang perempuan diujung sana yang berteriak tak setuju.
"Bagaimana nasib kelas yang menolak tetap kelas 11? Jika XI MIA 4 ingin tetap, berarti hasil suara seri, Pak." Terdengar Pak Topik menghela napas panjang.
"Jadi baiknya seperti apa?" Tatapan Pak Topik beralih pada Yola yang ia ketahui sebagai pemimpin gerakan ini.
"Kita edarkan ulang kertas berisi tanda tangan saja, Pak. Untuk yang tidak setuju, akan menandatangani kertas. Dan jika yang tidak tanda tangan, berarti mereka setuju untuk tetap kelas 11."
Pak Topik terlihat mengangguk paham, menatap satu per satu siswanya yang masanya SMA hanya tersisa 1 tahun lagi. "Oke. Bapak tunggu lusa, ya, hasil tanda tangannya."
David menghela napas panjang. Padahal, selangkah lagi, ia akan berhasil mendapatkan apa yang ia dan teman-temannya inginkan. Namun, sudahlah, semua sesuai dengan apa yang dibicarakan.
"Tetapi, kalau 3 kelas setuju dan 3 kelas enggak, kenapa harus pakai tanda tangan lagi?"
"Karena, tidak semua siswa menginginkan apa yang diinginkan oleh teman-teman sekelasnya." David jadi terdiam mendengar perkataan Yola. Setelah Pak Topik meninggalkan ruang serba guna ini, rupanya Egi masih mengajak berbicara.
"Bisa aja kalau di kelas lo ternyata ada yang ingin tetap. Kita kan nggak bisa tahu hati mereka semua." Danar ikut bersuara, membuat Egi mengangguk-anggukan kepalanya.
"Jadi, kalau misalnya di MIA 1, MIA 2, dan MIA 4 ada yang setuju untuk diubah. Biarin mereka tanda tangan, jangan dipaksa. Begitupun kelas MIA 3, 5, dan 6. Kalau ada yang ingin tetap, jangan dipaksa untuk tanda tangan." Fina bersuara, mem buat David sontak menoleh pada Fina.
David terdiam untuk sementara. Tidak semua siswa menginginkan apa yang diinginkan oleh teman sekelasnya.
Apa ada teman sekelasnya yang tidak ingin tetap bersama? Apa ada teman sekelasnya yang ingin berpisah? Bahkan David tidak pernah menanyakan hal itu kepada teman-temannya. Karena yang menyetujui untuk tetap kelas 11 hanyalah orang-orang yang cukup aktif di kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
THREE WORDS
Teen FictionPengakuan tidak langsung David di akhir kelas 11, bukan menjadi alasan untuk David dan Camila bermusuhan. Kini keduanya jauh lebih dekat sebagai sahabat. Disaat keduanya sudah nyaman sebagai sahabat, apa lagi yang diharapkan? Namun semua tak semuda...