"Yakin pesan satu aja?" David menaikan kedua alisnya menatap Camila yang lagi memainkan bibirnya sambil menunggu pesanannya yang baru saja dipesan.
Camila masih diam, masih merasa sangat kesal pada kelakuan David saat di sekolah tadi. Ia tak pernah menyangka, orang yang ia anggap sebagai sahabatnya ini bahkan rela menyuruhnya pulang sendirian.
"Camila," panggil David pelan, kepalanya sedikit menunduk agar mampu menatap mata Camila yang sedang menatap vas bunga kecil di meja mereka.
"Yaudah, gue minta maaf."
"Ya emang lo salah!" sahut Camila cepat membuat David terkejut beberapa saat, tetapi setelah itu ia hanya tersenyum kecil.
"Ya makanya, kan gue udah minta maaf." Camila mencebikkan bibirnya sebal mendengar perkataan David ini. Tangannya mengepal di atas pahanya kemudian ia pukulkan pada pahanya sendiri.
"Kalau tahu salah ya ngomongnya jangan kayak gitu dong, kesannya minta maafnya terpaksa banget." David kini terkekeh mendengar perkataan Camila.
"Yaudah, sekarang izinin gue buat jelasin semuanya sama lo, sekalian gue menceritakan bagaimana jalannya rapat tadi, dan hasilnya." Camila jadi mengangkat kepalanya menatap David yang kini ikut menunduk, membuat kepala Camila tak bisa digunakan untuk berpikir positif.
"Tunggu es krimnya datang dulu," pinta Camila dan diangguki oleh David. Bukan, sebenarnya bukan karena es krim saja, Camila ingin memberikan waktu untuk David merancang kata per kata yang akan ia sampaikan pada Camila. Kepalanya benar-benar hanya diisi oleh hal-hal negatif saja yang belum tentu kebenarannya.
"Yakin Cuma pesan satu?" tanya David sekali lagi.
"Satu dululah, kan masih mode ngambek!" Camila memanyunkan bibirnya membuat David gemas sendiri, sehingga tangan David bergerak untuk mencubit bibir Camila yang sedang manyun.
"Nggak usah sok imut!" David berdecak, membuat Camila langsung mengulum bibirnya. "Lo udah imut dari lahir soalnya."
Kini yang terdengar hanyalah tawa dari Camila karena mendengar gombalan dari David yang benar-benar menganggunya.
Camila hanya sibuk memperhatikan sekelilingnya, sedangkan David memilih untuk memperhatikan Camila sekaligus merangkai kata-kata yang akan ia sampaikan kepada Camila.
"Yay!" Camila terpekik senang saat melihat seorang pelayan berjalan ke arahnya, dengan dua gelas es krim yang ia yakini miliknya dan David.
"Pede banget, udah tahu buat tetangga." Camila langsung manyun saat benar saja pelayan tersebut malah berhenti pada meja sebelum Camila.
"Lama banget deh!" gerutu Camila membuat David menahan rasa gemasnya pada Camila. Namun sia-sia, tangannya lebih dulu bergerak mengusap poni Camila membuat Camila mencebikkan bibirnya sebal.
"Yaudah, lo cerita aja deh, ntar gue malah bete." David menahan tawanya, menatap Camilanya yang kini bertingkah sangat lucu, seperti bukan Camila banget.
"Enggak. Nggak enak kalau dipotong-potong sama mbak-mbaknya."
Camila memilih diam tak mengubris perkataan David. Capek juga kalau harus terus adu mulut dengan David.
"Tuh," ujar David sambil menunjuk ke arah belakang Camila menggunakan mulutnya. Camila menoleh kemudian memekik senang saat gelas tersebut satu-persatu diletakan di atas mejanya.
"Terima kasih," Camila tersenyum dan segera meraih gelasnya juga sendok yang disediakan. "Yuk, mulai."
Bahkan sikap Camila saat ini tidak seperti sebelumnya yang terkesan galak dan memusuhinya. Camila benar-benar sangat menggemaskan.
"Jadi ternyata seharusnya tuh, kelas MIA 6 itu suaranya tuh setuju untuk tetap satu kelas. Tetapi karena ketua kelasnya ada konflik sama teman sekelas, dia jadi ngebohong karena ketua kelasnya pribadi maunya dipisah."
Sambil menggigit ceri yang tersedia di gelasnya, Camila melotot. "Kok si ketua kelas itu egois banget sih?"
David terlihat mengangguk menyetujui perkataan Camila, "Nah makanya kenapa gue ngeusahain banget. Soalnya kalau menghitung hasil tanda tangan tuh ya yang menang yang mau dipisah, ya karena kelas MIA 6 itu."
Camila mengangguk-angguk, tangannya bergerak menuju gelas David dan meraih cerinya. "Gue makan, ya," ujar Camila diiringi cengengesan khasnya.
"Ambil, deh," Camila tersenyum kemudian segera melahap cerinya.
"Lanjut-lanjut, terus ekspresi si ketua kelas itu gimana? Ekspresi Pak Topik gimana?"
David tersenyum kecil sebelum kembali berkata-kata. Ini tanggapan Camila yang ia inginkan. "Pak Topik marah banget, merasa bohong dan dikhianati. Ehem. Kayak gini, 'Kamu itu nggak menghargai saya ya? Kamu anggap saya ini apa? Kamu anggap rapat ini main-main? Ini namanya kamu berkhianat, kamu mengkhianati saya juga teman-teman kamu. Kamu sosok ketua kelas yang tidak amanah.' Sambil ngederin tuh gue rasanya mau ketawa."
Camila ikut tertawa memperhatikan David yang menyontohkan perkataan Pak Topik. Galak namun diiringi sedikit nada kemayu. "Yaudah, akhirnya si MIA 6 itu minta maaf. Awalnya dia ngelak, tapi akhirnya gue panggil perwakilan MIA 6 dan gue ikut debat disana."
"Terus-terus?"
"Yaudah, dan hasilnya kita tetap sekelas. Nggak akan dipisah."
"Yey!" Camila sontak berteriak bahagia, tertawa lebar dan semua itu seperti magnet bagi David, karena secara spontan David ikut tertawa hanya karena melihat senyum Camila.
Rupanya, perasaan ini masih sama.
"Nggak nyangka gue sama diri gue sendiri, gue bisa berjasa banget buat anak-anak." Camila tersenyum dalam suapan terakhirnya.
David begitu membanggakan dirinya, tanpa ia ketahui, Camila jauh lebih bangga pada David. Bahkan ia rela diusir berkali-kali, jika akhirnya David bisa sebahagia ini karena bisa berhasil membuat orang lain bahagia.
"Tetapi masih ada yang janggal buat gue," David menyendokan es krimnya kemudian melahapnya kemudian menatap Camila secara dramatisir.
"Apaan?"
"Di kertas punya kita, ada satu tanda tangan yang nggak bisa gue kenalin."
"Memang lo kenal semua tanda tangan anak kelasan?" tanya Camila pelan membuat David mengangguk mantap. Bahkan tanda tangan Camila pun ia sangat mengenalnya.
"Ada lo foto gitu?"
David langsung mengangguk kemudian merogoh kantung celana abu-abunya. Memainkan sebentar ponselnya kemudian langsung menyodorkan kepada Camila.
Sesungguhnya Camila tak mengenali tanda tangan ini, namun jika ia mau meneliti, pasti ia bisa menebak milik siapa tanda tangan itu.
"Tunggu, deh. Di kertas kita ada satu tanda tangan, yang artinya ada satu orang yang setuju dipisah?"
David mengangguk cepat, kemudian David ikut memperhatikan layar ponselnya.
"Inisialnya sih, P," ujar David saat menemukan huruf P menjadi huruf depannya.
"Dikelas kita nggak ada yang P, deh,"
Camila terdiam sebentar. Entah kenapa pikirannya beralih pada dua hari yang lalu, disaat semua orang sibuk membicarakan film bioskop. Ada sesosok orang yang menjadi objek menarik baginya.
Ia bisa meyakinkan itu, sekali lagi ia memperhatikan tanda tangan itu. Ya, benar sudah. Kepalanya terangkat, menatap David yang berada dihadapannya.
"Kayaknya gue tahu, mau kita apain?"
"Samperin dan tanya secara langsung."
"Cus!" Camila bangkit dari duduknya dan meraih tas kecilnya kemudian berjalan keluar kafe ini diikuti David yang kerepotan memakai jaket sambil memegang tas dan berjalan.
"Camila, pegangih ih." Camila menggeram dan segera merampas tas David, membiarkan laki-laki itu memakai jaketnya sambil berjalan.
***
Haaaii bertemu David lagiii. Komentarnya yaaaa.October, 11th 2016.
KAMU SEDANG MEMBACA
THREE WORDS
Teen FictionPengakuan tidak langsung David di akhir kelas 11, bukan menjadi alasan untuk David dan Camila bermusuhan. Kini keduanya jauh lebih dekat sebagai sahabat. Disaat keduanya sudah nyaman sebagai sahabat, apa lagi yang diharapkan? Namun semua tak semuda...