"Yakin sampai sini aja, Fin? Nggak mau sampai depan rumah?" David bertanya sekali lagi pada Fina yang baru saja turun dari motornya.
Fina menggelengkan kepalanya, membenarkan letak tas ranselnya kemudian mengucapkan terima kasih pada David karena sudah mengantarnya.
"Nggak papa, sampai sini aja, Vid. Makasih, ya." David pun mengangguk dan segera berpamitan meninggalkan gang rumah Fina yang berada di pinggir jalan.
Sebelum motornya membelah ramainya jalanan Jakarta ini, matanya melirik jam tangan di tangan kirinya. Jam dua lewat sepuluh menit. Ia menganggukan kepalanya yakin kemudian menarik napas panjang dan segera menghempaskannya.
Tangan kanannya mulai menggas dengan lebih kencang. Ia harus sampai sebelum jam 3.
Pikirannya kembali melayang saat perdebatan di ruang serba guna tadi. David masih tak habis pikir dengan Kesha. Perempuan yang terlihat baik, bahkan begitu terliah biasa saja, justru bisa berbuat sebegitu jahatnya.
Ketua kelas MIA 6 itu dengan sangat tega membohong teman-teman sekelasnya, juga membohongi peserta rapat. Betapa jahatnya?
Secepatnya, David harus menceritakan ini pada Camila. Perempuan itu harus tahu bahwa David merupakan pahlawan besar untuk kelasnya. Ia sangat ingin Camila menjadi orang pertama yang mendengar cerita bahagia ini.
Ya, ia harus menghampiri Camila, berbicara pada gadis itu.
Motornya berhenti di depan sebuah rumah dengan cat berwarna abu-abu. Ia melepaskan helmnya, juga turun dari motornya.
"Assalamu'alaikum," nada bicara David sedikit berteriak. Mengingat bahwa banyaknya orang di dalam rumah ini, kemungkinan akan sangat berisik di dalam sana.
TIba-tiba seorang Ibu paruh baya dengan sebuah daster sebetis keluar dan berlari pelan-pelan. Membuka pagar dan mempersilahkan motor David masuk ke dalam pekarangan rumah ini.
"Camilanya ada, Bi?" Ibu paruh baya, yang David kenali biasa dipanggil Bi Inah itu pun mengangguk, menyuruh David menunggu dan duduk di teras.
"Sebentar, Bibi panggilin." David mengangguk dan segera berjalan menuju kursi yang biasa menjadi tempatnya.
Sambil mengetukan ujung kakinya dengan lantai teras rumah Camila, David kembali membayangkan bagaimana ekspresi Camila saat David menceritakannya nanti. Camila pasti bahagia. Ya, Camila selalu bahagia untuknya.
Ketukan kakinya pada lantai terhenti saat sebuah sandal dengan kepala kelinci menjadi objeknya. Kepalanya langsung terangkat, menatap Camila yang sedang menatapnya dengan wajah datarnya.
David langsung bangkit dari duduknya, kemudian tersenyum lebar pada Camila.
"Mau gue ce-"
"Mau ngapain kesini?" David menghentikan ucapannya. Matanya meneliti ekspresi wajah yang ditunjukan oleh Camila. Kedua alisnya berkerut tak mengerti.
"Ngapain?" David menatap Camila dengan sangat kebingungan. Sungguh, ia benar-benar tak mengerti kenapa tiba-tiba Camila bersikap seperti ini.
"Mila, gue-"
"Berhenti panggil gue Mila!" teriak Camila. Dadanya naik turun menahan amarah yang mungkin ia pendam sejak ia sampai di rumah beberapa jam yang lalu. Dan disaat emosinya belum terkontrol, David malah datang, membuat amarah Camila kembali memuncak
"Lo kenapa sih?" tanya David tak sabaran. Mungkin beberapa orang di dalam rumah Camila sudah mendengar teriakan Camila yang memang terdengar sangat kencang itu.
David hanya merasa tak enak pada penghuni rumah Camila jika harus membuat keributan disini.
Camila menarik napas panjang, menatap David dengan tajam. "Lo yang kenapa? Setelah lo usir gue, tiba-tiba lo datang kesini dengan senyuman lo itu. Lo nggak merasa bersalah sama sekali? Atau lo nggak berniat menjelaskan alasan lo kenapa ngusir gue? Atau setidaknya, hilangin senyum lo itu, lo tahu kita lagi nggak baik-baik aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
THREE WORDS
Teen FictionPengakuan tidak langsung David di akhir kelas 11, bukan menjadi alasan untuk David dan Camila bermusuhan. Kini keduanya jauh lebih dekat sebagai sahabat. Disaat keduanya sudah nyaman sebagai sahabat, apa lagi yang diharapkan? Namun semua tak semuda...