David menatap panggilan Camila dengan kedua kening mengkerut. Ini sudah panggilan kelimanya. David tak tahu apa yang akan Camila bicarakan, dan David juga tak tahu apa yang ingin ia katakana pada Camila. Meskipun keduanya sama-sama tahu, bahwa ini semua harus diselesaikan.
David meraih ponselnya, menarik napas panjang untuk siap mengangkat telepon dari Camila. Namun, saat tangannya bergerak hendak mengangkatnya panggilan itu terputus.
Dan dalam hati David berjanji, jika panggilan Camila datang lagi, ia akan langsung mengangkatnya.
Sudah hampir 5 menit, ia tak kunjung mendapatkan jawaban. Apa Camila benar-benar sudah menyerah untuk menghubungi nomornya? Bahkan, menelepon saja ia bisa menyerah, lalu bagaimana soal perasaannya?
"Mas David!" David segera menoleh ke pintu, menatap Lala, adiknya yang mengenakan daster panjang.
"Dipanggil Mama," ujar Lala dan segera berlari lagi menuju ruang tamu. Bahkan David tidak ingat, jika adiknya itu sudah akan menginjak umur ke enam.
"Ya, Ma?"
Dan obrolan David bersama Mamanya berhasil mengabaikan satu panggilan masuk lagi di ponselnya yang tergeletak secara sembarang di atas kasurnya.
Panggilan dengan id caller Rangga mati begitu saja tanpa sempat diangkat.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan sang Mama, David kembali berjalan menuju kamarnya. Rupanya Mama berniat mengadakan pesta kecil-kecilan untuk adiknya yang hendak berumur 6 tahun itu. David siap membantu, selama mendapat jatah.
David melirik ke ponselnya, menatap panggilan tak terjawab dari Rangga. Matanya membulat tak percaya.
Tadi Camila, sekarang Rangga. Bukannya dua-duanya lagi bersama? Apa yang terjadi?
David segera menghubungi nomor Rangga beberapa kali, tetapi tak kunjung diangkat. Ia beralih menelepon nomor Camila, tetapi hasilnya sama, tak ada jawaban.
David bangkit dari duduknya, berjalan menuju jendela kamarnya, menatap langit yang begitu mendung. Pikirannya kembali dilanda kegalauan, jika ia menghampiri kemana Rangga dan Camila berada, ia takut terjebak hujan. Lagian, bukannya Rangga tak suka hujan? Ia akan memilih pulang sebelum hujan turun.
"Mas David," Suara Lala kembali terdengar oleh telinganya. Kepalanya menoleh menatap Lala dengan kedua alis terangkat. "Maaf, ya, Mama yang panggil, bukan Lala."
David jadi terkekeh mendengar perkataan Lala yang terdengar begitu menggelikan plus wajah menggemaskannya. "Lala ke ruang tamu duluan aja, Mas mau sholat dzuhur dulu."
Melihat Lala mengangguk dan menutup pintu kamarnya, David segera berjalan menuju kamar mandinya. Mengambil air wudhu kemudian meraih sarung yang dilipat bersama dengan sajadahnya yang berwarna biru muda.
4 rakaat memang bukan waktu yang lama, tetapi untuk kali ini mungkin David menginginkan sesuatu hal. Acara berdo'anya berjalan cukup lama. Ia terus berharap dalam hati, bahwa Camila tak akan terkena masalah apapun disana.
Baiklah, mungkin David memang terlalu gengsi untuk mengatakan bahwa ia mengkhawatirkan Camila, mungkin David terlalu gengsi untuk sekedar menghampiri Camila ke sana dan menanyakan apa yang terjadi.
Setelah semua selesai, David juga sudah melipat sarung sekaligus sajadahnya dan meletakannya kembali, David segera berjalan ke luar kamar, berjalan menghampiri Mamanya yang sedang asik menonton FTV siang yang sangat disukai Mamanya.
"Ya, Ma?"
"Bisa tolong ke toko kue yang ada di perempatan nggak? Mama mau kesana, tetapi mendung, nanti Mama kehujanan."
KAMU SEDANG MEMBACA
THREE WORDS
Teen FictionPengakuan tidak langsung David di akhir kelas 11, bukan menjadi alasan untuk David dan Camila bermusuhan. Kini keduanya jauh lebih dekat sebagai sahabat. Disaat keduanya sudah nyaman sebagai sahabat, apa lagi yang diharapkan? Namun semua tak semuda...