"Lo yakin ini rumahnya?" tanya Camila sambil turun dari motor kemudian menyodorkan helmnya pada David.
David yang baru saja turun, menyugar sebentar rambutnya kemudian segera berdiri disamping Camila yang kini berdiri di depan pager. "Kalau orang yang lo maksud itu, ya ini rumahnya." Camila mengangguk kemudian melihat sebuah bel.
'Vid," panggil Camila sambil menarik ujung baju David yang sudah keluar dari dalam celana. David mendengus kemudian menyingkirkan tangan Camila dengan kesal.
"Jangan suka tarik-tarik, dong!"
"Ya makanya, jadi cowok jangan lelet. Sini cepetan, tolong pencetin belnya. Buruan." David memutar bola matanya taj percaya melihat tingkah Camila ini.
"Demi apapun, lo minta tolong sama gue, galak amat." Camila manyum kemudian memukul lengan David.
"Gue nggak nyampe," jawab Camila. Mendengar jawaban Camila, barulah David tertawa untuknya, menertawakannya dengan puas kemudian segera menekan bel rumah besar ini.
Sambil menunggu seseorang membukakan pintu untuknya, Camila memperhatikan rumah ini. Rumah yang begitu indah dan nyaman menurut Camila. Meskipun rumah Camila cukup besar untuk dua orang tua, dan 4 saudara lainnya, tetapi rumah ini jauh lebih besar.
"Lo nggak nuduh, 'kan?" Camila kini menjitak kepala David membuat David terkekeh.
"Enggak. Gue udah dapet beberapa bukti. Dia itu suka keliatan aneh kalau kita ngomongin soal pisah kelas ini. Kayaknya sih dia nggak suka sama kelas kita yang sekarang." David terlihat mengangguk-angguk mendengar perkataan Camila.
"Mana sih, nggak ada yang jawab." Camila sedikit jinjit, melongok ke dalam rumah itu. "Masa rumah segede gini nggak ada isinya," lanjut Camila kemudian bersandar pada dinding.
"Pencet lagi dong," perintah Camila membuat David melengos kesal namun tetap memencatnya.
Tak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam dan suara seseorang berlari dari dalam rumah. Kemudian kini yang terdengar adalah suara pagar yang dibuka.
"Silahkan masuk," ujar ibu paruh baya yang Camila nilai dari penampilannya adalah asisten rumah tangga ini.
Camila mengangguk kemudian membuntuti ibu paruh baya itu, sedangkan David, ia memilih mengamankan motornya dan menuntunnya ke dalam teras rumah ini.
"Mau mencari mbak-"
"Siapa, Bi?" Belum sempat ucapan Ibu paruh baya itu terselesaikan, seorang perempuan muncul dari pintu utama.
Camila segera menoleh kemudian terbelalak. "Nindy?!"
"Camila, David, ngapain kesini?" Tak mempedulikan perkataan Nindy, Camila justru memilih untuk menoleh pada David dan menatapnya penuh tanya.
David yang sedang menyugar rambutnya berjalan mendekati Camila, "lo bilang ini rumah Cinta?"
David mengangkat kedua bahunya, "Ya kan Nindy sama Cinta temen deket, lo mah nggak mikir," jawab David membuat Camila mendengus padanya.
"Ehm, gue mau ketemu sama Cinta." David berjalan mendekati pintu utama. Perempuan paruh baya tadi sudah lebih dulu izin meninggalkan teras untuk kembali ke dapur.
"Cinta, ya? Dia belum balik tuh," jawab Nindy acuh. Camila masih berdiri di belakang David, menarik ujung jaket laki-laki itu.
Bahkan sampai saat ini, ia tetap terus menerus memberikan tatapan tajamnya pada Camila. Camila hanya berdiri seolah mengumpat dari Nindy. Beruntung David memiliki badan yang cukup besar untuk menutupinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THREE WORDS
Teen FictionPengakuan tidak langsung David di akhir kelas 11, bukan menjadi alasan untuk David dan Camila bermusuhan. Kini keduanya jauh lebih dekat sebagai sahabat. Disaat keduanya sudah nyaman sebagai sahabat, apa lagi yang diharapkan? Namun semua tak semuda...