Note : Chapter ini mengandung banyak narasi dan mungkin lebih panjang dari chapter lainnya. Dimohon menyiapkan kantong muntah jikalau tidak kuat, tapi untuk informasi saja, chapter ini penting :’)
•||•||•||•
“Siapa kamu?”
Beberapa saat setelah tanya itu meluncur dari bibir kering Luna, keheningan menyelimuti mereka. Suasana canggung begitu kentara, Luna bukanlah tipikal gadis yang bisa memulai percakapan dengan baik, apalagi dalam keadaan tangan dan kakinya dibelenggu. Ia tidak memiliki skenario lebih buruk daripada ini, dan sama sekali tidak memiliki ide kejadian apa yang akan menimpanya setelah ini. Gadis itu memerhatikan penampilannya saat ini, diangkat kedua tangannya dan ia bisa melihat jari-jarinya semakin lama seakan hanya terbungkus oleh kulit. Begitu kurus. Sebuah tanya muncul dalam benaknya, apa yang terjadi kala kesadarannya sempat tertawan?
Luna mencoba menggerakkan kakinya, dan saat lutut kirinya agak ditekuk, cairan merah merembes melalui serat-serat celana jeans-nya yang robek.
“Akh!”
“Jangan banyak bersuara!”
Luna meringis lalu kembali meluruskan kedua kakinya. Kala mendengar suara gadis bersurai ungu itu, perhatian Luna kembali tertarik. Gadis itu memerhatikannya ngeri, seakan Luna adalah sesuatu yang berbahaya dan mengancam.
Setelah dirasanya sakit itu hilang, Luna menghela napas lega. Gadis itu lalu sedikit membenarkan posisi duduknya yang sedikit membungkuk. Di dalam keadaan seperti ini membuat Luna tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin segera kembali pulang, merasakan kehangatan kasurnya dan menghabiskan hari-hari dengan membaca novel. Tentu Luna pernah membayangkan dirinya sendiri menjadi salah satu bagian dari cerita di novel yang ia miliki.
Tapi bukan jenis cerita seperti ini yang ia inginkan. Ini terlalu sulit diterima nalarnya.
Memejamkan matanya, lalu berharap sungguh-sungguh dalam hati, saat ia membuka matanya kembali, ia ingin berada di taman belakang sekolah lagi. Menggenggam novel, dengan Lingga yang tak pergi dari sisinya.
Satu.
Dua.
“Hah...,” desahan napas lelah lolos dari bibirnya. Ini tidak akan berhasil.
Ia mengedarkan pandangannya sekali lagi, menyapu seluruh ruangan bundar berdinding batu ini. Dan pandangannya tertumbuk pada gadis bersurai ungu yang sedang melamun memerhatikan jeruji jendela di dinding dengan tatapan yang tak dapat Luna artikan.
Cantik banget, batinnya berbisik.
Setelah diteliti kembali, dengan surai ungu panjang berkilau walaupun kusut, kulit seputih susu, wajah cantik berbintik di daerah pipi, dan mata kucing beriris senada dengan rambut, Luna yakin, takkan ada seorang lelaki pun yang tak meliriknya. Dia dianugerahi kecantikan yang membuat Luna tak berhenti menatapnya dalam beberapa menit terakhir. Mengaguminya.
Sedang yang ditatap merasa risih, Meena mengalihkan pandangannya pada Luna. Ia meneguk ludah susah payah, cara penyihir itu menatapnya membuat Meena meremang. Ia berharap pada Dewa supaya daging yang melekat di tubuhnya tidak menarik minat penyihir di hadapannya saat ini. Meena benar-benar tidak memiliki ide kenapa ia bisa berakhir di tempat seperti ini bersama penyihir yang berbahaya. Iris matanya menatap Luna ragu, ia sedikit merasakan keringat di pori-pori kulitnya. Ketakutan.
“Meena.”
Luna terlempar kembali pada kenyataan. Dahinya kontan mengerut tipis walau ia merasa sedikit perih saat melakukannya, yakin bahwa ada luka di dahinya juga. Ia membuka suara. “Meena?”
Gadis bersurai ungu itu mengangguk skeptis, lalu menatap Luna dengan mata kucingnya. “Namaku.”
“Kumohon, setelah aku menjawab pertanyaanmu, jangan sakiti aku. Jangan bunuh aku. Kumohon....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aeritys
Fantasy[•] "Dunia kita berbeda," Fhreii memberi jeda, menarik napas lebih dalam dan berusaha menahan rasa sesak di dadanya, "kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Di Athyra, maupun di duniamu. Aku takkan pernah bisa melawan para Dewa. Maka dari itu...