Pria itu menggoyang-goyangkan gelas anggur bertahtakan berlian miliknya, lalu menyesap minumannya perlahan. Surai abu terang yang ia miliki berkilau disinari cahaya redup lilin di beberapa sudut ruangan, mata elang itu menatap lembaran-lembaran usang di atas meja tak jauh di depannya. Ia melangkah mundur, merilekskan tubuhnya di atas kursi empuk sembari menyilangkan tungkainya. Gelas anggur itu diletakkan di atas meja bundar kecil tepat di sebelahnya.
“Masuklah.”
Dari tembok kosong tak jauh dari pria itu, seekor musang tiba-tiba muncul. Tak butuh waktu lama, musang itu bertransformasi menjadi seorang pria. Pria musang itu membungkukkan tubuhnya lalu memberi salam.
“Salam hormat untuk Tuan.”
“Katakan.”
Pria musang menatap sosok di hadapannya yang sedang memijat pelipisnya sembari memejamkan mata, ia menunduk kembali. “Gadis penyihir itu masih ada di sana, Tuan.”
Pria itu menghentikan gerakannya memjiat pelipis, lalu menatap musang berwujud manusia itu penuh arti. Mendapati respons seperti itu, pria musang melanjutkan kalimatnya. “Paduka Fhreii berencana pergi ke tempat itu malam ini. Membawa seorang dayang, Tuan.”
Iris abu terang pria itu menajam, ia bergumam pelan. “Kekasih Pangeran Aldric?”
“Ya.”
“Lanjutkan.”
Pria musang itu mengangguk. “Sepertinya gadis itu jatuh sakit. Hamba tak tahu kenapa hal ini bisa terjadi, Tuan. Padahal dia seo—“
“Seorang penyihir.”
“Ya, Tuan. Benar.”
Pria itu mengerucutkan bibirnya ke samping. Sebuah ide melintasi benaknya. Ia beranjak dari kursi lalu melangkah ke arah meja di ujung ruangan. Pria musang itu mengekori gerakan Tuannya. Tangan pria itu meraih lembaran-lembaran usang di atas meja, memerhatikannya, lalu tertawa singkat.
“Aku mengerti.”
•||•||•||•
Butuh waktu kurang dari limabelas menit bagi Fhreii untuk dapat menyelinap dari penjagaan Istana Svylinis. Tujuhbelas tahun ia tinggal di sini, dan lima tahun yang lalu ia telah menentukan rute pelarian yang tepat. Pangeran mahkota itu telah membuat beberapa jalan tikus di berbagai titik strategis di dalam istana, tentu saja untuk mempermudah misi pelariannya. Ia pun bersyukur keahliannya ini dapat membawanya menemukan beberapa jalan rahasia di istana. Fhreii tersenyum miring, sembari mengenakan tudung kepala, dan mengeratkan jubah biru tuanya, pangeran itu menembus keheningan sayap kanan istana yang sedang tak berpenjaga.
Siluet tubuh manusia terlihat di balik sebuah pohon. Dengan langkah mengendap-endap, Fhreii mendekati pohon itu.
“Astaga, Demi Dewa Athymus!”
Meena memekik kaget kala tangan dingin Fhreii menyentuh bahunya. Gadis dayang itu menyetabilkan degup jantungnya. Bukan karena apa-apa, tapi demi mematuhi perintah pangeran berandal ini, Meena harus menyelinap dari pengawasan ketat Madam Brietta, Kepala Dayang Istana Svylinis. Tentu saja gadis itu memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi saat ia berani mengambil tindakan nekat ini. Entah ia akan dihukum apa nantinya, Meena tak memiliki ide.
Tapi gadis bersurai ungu itu yakin, jika sampai Madam Brietta tidak menemukannya di asrama para dayang di jam malam seperti ini, tamatlah riwayatnya.
Mengembuskan napas untuk menyingkirkan segala ide negatif, Meena menegapkan punggungnya lalu menghadap Fhreii dengan sempurna. “Salam, Yang Mulia.” Gadis itu membungkuk.
Pangeran mahkota itu mengibaskan tangannya di udara, ia berdecak pelan. “Ya, ya, simpan saja salammu itu.” Fhreii menatap sekitar dengan seksama, lalu menatap Meena sekilas, “Ikut aku.”
![](https://img.wattpad.com/cover/49602326-288-k347855.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aeritys
Fantasia[•] "Dunia kita berbeda," Fhreii memberi jeda, menarik napas lebih dalam dan berusaha menahan rasa sesak di dadanya, "kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Di Athyra, maupun di duniamu. Aku takkan pernah bisa melawan para Dewa. Maka dari itu...