Keputusan Najwa

5.3K 346 7
                                    

Aku menangis. Entah karena apa airmata ini keluar. Kecewa pasti itu yang aku rasakan. Tapi bukankah ini bukan salah Farhan sepenuhnya. Lagian mana ada seorang laki-laki yang mau menerima seorang wanita yang masih mencintai orang lain. Terkadang aku menyesal kenapa aku harus mencintai dia. Kenapa sulit untukku melupakan dia.

Dan kenapa harus dihari pernikahan dia baru membatalkannya. Bagaimana perasaan kedua orang tuaku? Bagaimana malunya mereka kalau undangan tau pernikahanku batal?

Suara pintu terbuka, tampak ibu dan bunda dibalik pintu. Mereka datang menghampiriku dan memelukku sayang. Aku kembali menangis dalam pelukan mereka. Aku telah membuat mereka terluka.

"Ibu, Bunda maafin Najwa. Najwa udah bikin kalian kecewa. Najwa udah bikin Ibu dan bunda malu karena pernikahan ini batal." Kataku disela-sela tangisku
"Dengerin bunda. bunda, ibu, ayah sama bapak bahkan mas Difan gak nyalahin kamu sayang. Kamu gak salah begitu juga dengan Farhan. Ini semua sudah takdir Allah."
"Tapi pernikahan ini batal bunda. Dan itu karena novel sialan itu. Kalau aja..."
"Hey... jangan menyalahkan novel itu sayang. Kamu lupa berkat novel itu, kamu bisa membantu memperbaiki masjid, kamu bisa membantu anak-anak yatim piatu."
"Tapi kalau aja bukan cerita itu..."
"Ini takdir sayang. Kita gak boleh menyalahkan takdir."
"Ibu bener sayang. Ini semua sudah takdir mungkin memang kamu belum berjodoh dengan Farhan."
"Apa ini karma ya Bun, bu? Karma karena dulu Najwa udah sering nyakiti orang. Udah sering bikin orang sakit hati. Dan disaat Najwa ingin serius mereka gak ada satupun yang mau menerima kekurangan Najwa." Kataku masih dalam pelukan kedua ibuku. Mereka diam. Hanya tangan mereka yang aktif membelai hijabku.
"Itu bukan karma nduk. Itu sudah menjadi ketentuan dari Allah. Kamu lupa surat al an'am ayat 59 "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" [ 6 :59]. Tidak ada satupun yang tidak Allah ketahui. Termasuk kejadian ini. Diambil saja hikmahnya ya nduk." Kata Khoirul
"Bapak?" Aku langsung berlari memeluk laki-laki terhebat dalam hidupku. Aku kembali menangis dalam dekapannya.
"Maafin Na pak. Na udah bikin bapak kecewa. Na udah bikin bapak malu karena pernikahan Na batal gitu aja."
"Kalau kamu mau bapak bisa saja tidak membatalkan pernikahan ini nduk."
"Maksud bapak? Mas Farhan?" Kataku masih mencoba mencerna kalimat Bapak.
"Bukan Farhan. Tidak akan ada lagi pernikahan antara Najwa dan Farhan lagi. Dia sudah membatalkannya."
"Lalu?"
"Ada seorang laki-laki sholeh yang melamarmu kepada bapak barusan. Dan kalau kamu bersedia dia mau menikah sekarang. Melanjutkan pernikahan ini. Dengan mempelai pria yang berbeda."
"Siapa dia pak? Lalu apa maksud dia mau menikaahi Najwa bahkan saat calon suami Najwa memilih pergi."
"Dia bilang ini karena takdir. Dia tak punya alasan kenapa dia mempunyai niat menikahimu nduk. Tapi dia punya keyakinan besar menikahimu adalah takdirnya. Apa kamu mau nak?" Aku menangis. Entah karena apa tapi aku menangis mendengar penuturan bapak. Siapa laki-laki itu.
"Tapi apa dia tau kekurangan Na? Apa dia tau alasan kenapa calon Najwa pergi? Apa dia mau menerimanya dengan ikhas?"
"Dia tau. Sangat tau. Dia ada disana tadi. Dia menerimanya. Baginya itu tantangan tersendiri untuknya."
"Hmm bolehkan Najwa dengar langsung kata-kata bapak barusan? Najwa takutnya itu cuma buwalan bapak aja untuk menghibur Najwa." Kataku masih memeluk bapak manja. Bapak mencium keningku dan mencubit hidungku gemas.
"Tentu. Kamu memang harus menemuinya. Yakinkan hatimu nduk. Bapak tidak akan memaksamu. Begitu juga ibu, bunda sama ayahmu. Kita sepenuhnya mendukung keputusanmu. Jangan berfikir melakukan ini untuk kebahagiaan kami. Karena kebahagiaan kami adalah ketika melihat anak perempuan kami bahagia. Temuilah dia. Dia bersama masmu didepan."
"Iya pak." Kataku melepas pelukanku dari bapak. Dan berjalan keluar kamar untuk menemui ikhwan itu.
"Bismillah." Ucapku saat keluar kamar.
"Mas Difan." Kataku saat sudah berada diruang tamu. Ikhwan itu sedang membelakangiku. Aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi tunggu sepertinya aku mengenali punggung itu. Mas Difan dan Ikhwan itu menengok kearahku.
"Mas Abdullah?" Gumamku kaget. Dia menundukkan pandangannya setelah sempat pandangan kami bertemu.
"Kenapa dek? Ada yang bisa mas bantu?" Tanya Mas Difan yang sangat aku yakini dia sedang menahan tawa.
"Hmm anu... itu tadi..." kataku gugup
"Tadi kenapa sih? Kamu mau ngomong apa sih? Kok salting gitu kamu?"
"Ihh mas Difan. Tadi sama bapak aku disuruh kesini buat nemuin Ikhwan yang tadi melamar aku lewat bapak. Katanya dia sama mas Difan." Kataku keceplosan. Mas Difan menahan tawanya sampek wajahnya merah. Mas Abdullah hanya tersenyum sambil menunduk.
"Kalau mau ketawa, ketawa aja mas jangan ditahan gitu." Kataku sambil duduk disebelah mas Difan sambil mencubit pinggang mas Difan.
"Aww... katanya suruh ketawa. Ini kenapa malah dicubit sih?" Kata mas Difan.
"Jadi untuk apa om Irul menyuruhmu menemuiku Na?" Tanya Mas Abdullah menghentikan perdebatan kecil kita.
"Jadi benar, mas Abdul ikhwan itu?" Tanyaku dibalas anggukan kepala darinya. Irit ngomong
"Hmm..." kataku bingung
"Haduh lama deh kamu dek. Keburu gak mau ntar petugas KUAnya." Kata Mas Difan geregetan
"Udah jangan dengerin omongannya Difan. Kalau kamu belum bisa menjawab gak perlu kamu jawab sekarang kok." Kata mas Abdul membuatku ternganga. Kalimat terpanjangnya
"Gak. Bukan gitu. Hmm aku mau tanya satu aja boleh?"
"Silahkan."
"Apa alasan mas Abdul memintaku pada bapak? Padahal kita tak pernah akur sebelumnya, dan aku masih belum bisa melupakan dia."
"Kalau kamu tanya kenapa tiba-tiba aku ingin menikahimu aku juga gak tau kenapa. Tapi yang pasti aku memiliki keyakinan yang kuat kalau menikahimu adalah takdirku. Dan mungkin ini cara Allah agar kita bisa akur. Dan masalah cinta kamu padanya aku gak peduli."
"Gak peduli?" Tanyaku kesal. Kirain dia bisa bersikap romantis eh tetap aja menyebalkan.
"Iyalah. Bisa stres aku mikirin kisahmu yang gak pernah selesai itu. Toh yang penting bagiku kamu telah menjadi milikku kalau sudah menikah nanti. Tapi harus kamu ingat semuanya yang telah menjadi milikku tidak akan ku biarkan direbut orang." Kata Abdul. Tak seromantis yang bapak bilang. Tapi kenapa wajahku terasa panas dan seperti ada yang terbang diperutku.
"Udah terus ini gimana kesimpulannya? Jadi gak? Keburu tutup KUA." Kata Mas Difan tak sabar
"Yaudah mas Difan ke KUA gih. Bilangin petugasnya suruh kesini. Yang mau nikah siapa yang rempong siapa." Kataku kesal. Aku menutup mulutku menyadari apa yang baru saja aku ucapkan. Apa ini artinya aku menerima pinangan mas Abdullah
"Jadi beneran jadi nikah nih kalian?" Tanya Mas Difan meyakinkan.
"Udah sana ke KUA. Katanya keburu tutup tadi."
"Kamu yakin?"
"Kalau mas Difan bisa seyakin itu kenapa aku enggak."
"Duh cie..."
"Mas Difan."
"Difan."
"Ok gue diem." Kata mas Difan sambil menutup mulutnya.
"Hmm untuk maharnya bolehkan aku minta hafalan surat Ar-Rahman?"
"Jangankan Ar-Rahman Al Baqarahpun dijabani sama Dul mah."
"Kali ini gue setuju sama Najwa mending loe pergi ke KUA deh."
"Ya mana bisa gue pergi kalau kalian masih stay disini?. Inget belum muhrim."
"Yaudah aku masuk dulu. Awas aja kalau nanti mas yang nikah bakal aku bully sampek nangis." Kataku sambil berlalu meninggalkan dua lelaki menyebalkan itu.

Benarkah ini takdirku? Benarkah dia yang kau pilihkan untukku? Benarkah dia yang mampu membantuku melupakan Hilmi?

Karena Sepenggal Cerita Lalu (tersedia Dalam Bentuk Pdf)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang