Awal sebuah cerita

19K 606 5
                                    

Senja telah menyapa tanpa aku sadari. Sorot cahayanya mencuri masuk celah celah jendela ruangan kecil tempatku sekarang. Tak terasa sudah hampir empat jam aku berada dalam ruangan ini. Beberapa temanku telah pamit untuk pulang. Sedangkan aku, masih terus berkutat pada lembaran lembaran kertas di depanku.

"Dek gak pulang kamu?" Tanya seaeorang yang sangat aku kenal. Dia Mas Diffan, kakak sepupu.
"Eh Mas. Belum nih. Masih banyak koreksi nih mas. Kan kata Mas Abdullah besok harus selesai. Mas Diffan kok belum pulang juga? Aku kira udah pulang tadi." Kataku masih terus berkutat pada kertas kertas didepanku
"Tadi habis ngobrol sama Abdullah diruangannya. Kenapa gak dikerjain dirumah aja sih? Perlu aku bantu gak?" Katanya lagi sambil menghampiri mejaku.
"Enggak deh mas. Daripada ntar malah gak selesai selesai pekerjaanku. Mending mas beliin aku minuman gih. aku haus mas." Kataku dengan senyum manja kepada mas Diffan
"Dasar ya. Masnya malah disuruh suruh. Yaudah bentar mas beliin. Cepet diselesain tapi kerjaan kamu biar bisa cepet pulang."
"Iya mas Diffan. Nanti mas kesini kerjaanku udah selesai." Kataku sambil kembali berkutat pada tumpukan kertas itu lagi. Mas Diffanpun berlalu meninggalkanku.

Aku telah menggeluti pekerjaan ini hampir satu tahun. menjadi seorang editor di salah satu majalah islam adalah satu impianku. Persahabatannya dengan Mas Abdullah yang begitu erat membuat Mas Diffan diberi kepercayaan menjadi pimpinan redaksi majalah ini. Dan karena mas Diffanlah banyak tulisanku yang termuat dimajalah ini. Dan berkat tulisanku pekerjaan ini aku dapatkan. Meskipun pekerjaan ini benar benar melelahkan namun aku sangat menikmatinya. Seperti saat inilah, aku dituntut untuk menyelesaikan penyuntingan artikel-artikel yang siap cetak dan tidak siap cetak.
"Bu bidan??? Belum pulang?" Tanya mas Abdullah dengan sebutan khas yang tak pernah bisa dihentikan. Aku tersenyum kecut mendengarnya. Orang ini benar benar menyebalkan. Kalau bukan karena dia bosku aku yakin bolpoint ditanganku sudah pasti mendarat mulus dikepalanya.
"Gue emang nyuruh loe buat nyerahin semua artikel yang siap cetak besok pagi. Tapi gue gak minta loe lembur disini. Sampek2 ninggalin sholat magrib." Kata mas Abdullah membuatku mengeryitkan mata.
Ah memang sekarang sudah waktunya sholat magrib. Dan aku hampir saja melupakannya.
"Makasih ya mas. Hampir aja aku lupa. Kalau gitu aku sholat dulu." Kataku sambil merapikan kertas-kertas didepanku. Meletakkan diatas meja dan berlalu menuju mushola.

"Loh mas Abdullah kok masih disini???" Tanyaku saat kembali ke ruanganku menemukan sosok yang menjengkelkan tetap diruanganku
"Lah emang gak gue gak boleh ada disini?" Tanya dia santai
"Terserah deh. Asal jangan gangguin kerjaanku aja." Kataku kembali ke kursi kerjaku
"Loe kenapa gak jadi bidan aja sih? Gak kasian orangtua loe nyekolahin bidan eh anaknya malah milih cuma jadi editor doang. Diperusahaan kecil lagi." Kata Mas Abdullah membuatku menghentikan pekerjaanku
"Harus banget ya aku jawab pertanyaannya mas Abdullah?" Tanyaku padanya lalu kembali fokus pada kertas kertas ditanganku.
"Iya gak harus sih. Gue cuma penasaran aja. Loe kuliah di jurusan kebidanan setelah lulus malah milih kerja di sini. Gak ada nyambung nyambungnya sama kuliah loe."
Aku tak menjawab pertanyaannya. Ini sudah kesekian kali aku mendengar pertanyaan itu. Bukan hanya dari mas abdullah saja, rekan rekan kerjaku yang lainpun pernah menanyakannya. Tapi tak satupun dari mereka aku jawab. Bukan karena aku enggan menjawab, tapi aku sendiripun tak tau apa jawabannya.

"Loh Dul loe kok disini?? Bukannya tadi loe bilang mau pulang?" Tanya Mas Diffan mengagetkan keheningan kami
"gue cuma gak mau dibilang boss yang gak bertanggungjawab gara gara membiarkan karyawannya lembur sendirian dikantor." Kata Abdullah cuek
"Oh loe tenang aja, gue temenin kok karyawan loe. Dia aman sama gue."kata mas Diffan sambil memberikan sebotol air minum
"Yaudah kalau gitu gue pulang dulu. Assalamualaikum." Kata Mas Abdullah sambil menjabat tangan Mas Diffan dan hanya melirikku sekilas sebelum pergi.
"Waalaikumsalam." Kataku dan Mas Diffan bersamaan
"Udah belum dek???" Tanya Mas Diffan mendekat ke mejaku
"Bentar lagi mas. Kurang dua ini. Mas ada acara ta? Gak papa kok kalau mas mau duluan."
"Enggak. Mas laper ini." Kata Mas Diffan benarbenar membuatku tertawa.
"Malah ketawa. Kualat kamu ngetawain mas."
"Iya iya maaf mas. Habisnya mas lucu sih."
"Orang lapar kok dibilang lucu. Udah cepet selesain nanti pulang temenin aku makan dulu."
"Ok boss."
Aku pun melanjutkan pekerjaanku sedangkan mas Diffan lebih memilih bermain game di hpnya. Tak berselang beberapa lama akhirnya kamipun berlalu meninggalkan kantor yang mulai mencengkam.






yang sudah baca jangan lupa votenya ya. Makasih

Karena Sepenggal Cerita Lalu (tersedia Dalam Bentuk Pdf)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang