Bunyi suara gorden yang disingkap, membuat nyawa Raras hampir kembali. Jutaan berkas cahaya menghampiri mata Raras. Memaksa dua kelopak mata itu mengerjab perlahan. Netranya langsung mencari arah jaruh jam. Jam tujuh kurang. Masih bisa tidur beberapa menit lagi, harusnya.
"Mi, bisa ditutup lagi tirainya? Raras masih ngantuk," gumam Raras dengan menguap. Ia kembali menarik selimutnya. Mencoba memejamkan mata, memohon pada Della—mami tirinya—yang berdiri di depan jendela.
"Nanti papamu marah, Sayang. Bangun ya? Sarapan bareng, nanti baru tidur lagi," Ujar Della pelan. Ia mematikan semua lampu di kamar Raras. Meraih bantal juga boneka Raras yang berceceran di bawah ranjang.
Harusnya tidak ada yang salah dari perkataan Della. Hanya saja di telinga Raras, perkataan Della seperti mencomoohnya. Semalas-malasnya Raras, ia tidak pernah tidur pagi-pagi. Tapi untuk apa Raras tersinggung, jika memang seperti itulah kegiatan kebanyakan pengangguran. Ya sudahlah. Barangkali memang Raras yang terlalu melankolis pagi ini.
"Ngantuk, Mi."
"Nanti kalau sudah mandi, ngantuknya akan hilang. Ya?"
Raras mengangguk. Ia menegakan punggungnya. Mengucek matanya pelan yang jujur saja masih berat untuk terbuka. Jam berapa ia tidur semalam? Jam 3. Samar-samar ia mendengar suara derap langkah kaki, disusul dengan suara pintu berderit. Itu tandanya Della sudah keluar dari kamar.
Meskipun Della hanya mami tiri, namun Raras sama sekali tak berniat mengabaikannya. Biar bagaimanapun, wanita itu begitu baik padanya, tidak cerewet, bahkan berusaha membelanya kala Darius dalam keadaan marah.
Seperti kali ini, Raras tak berniat menganggap angin lalu usaha Della untuk membangunkannya. Ia berusaha membuat matanya terbuka sempurna. Namun sialnya kedua kelopak mata Raras seperti terganduli beban berat. Tanpa mampu ia cegah, keduanya sudah menutup dengan sendirinya. Sayup-sayup angin pagi yang berhembus melewati teralis jendela kamarnya seolah ikut membelai lembut wajah Raras. Perlahan menggiringnya kembali ke alam mimpi.
Raras seperti hampir terserap oleh kegelapan. Terbawa arus hingga terlelap. Entah dalam beberapa saat, sebelum suara pintu terjeblak membuat ia berjengit kaget. Jantungnya berpacu hebat dikagetkan dalam keadaan tidur seperti itu. Ia hampir berteriak, namun ia urungkan karena melihat wajah sang Papa yang mengeras menahan amarah.
"Kamu benar-benar ingin Papa usir, Ras?" teriak Darius menghunjam jantung Raras.
Raras terbungkam. Ia meneguk ludahnya susah payah.
"Dari jam berapa, Mami Della bangunin kamu??" teriak Dariud lagi.
Ujung mata Raras melirik jam di atas nakas. Setengah jam yang lalu. Menelan ludah entah kenapa seberat ini sekarang.
"Kamu pikir kamu ratu yang mau selalu ditunggu??" Darius tak lelah untuk berteriak. Dari jarak sedekat ini, cukup membuat jantung Raras berdenyut sakit.
"Papa sama kakak-kakakmu harus bekerja, Ras. Kami tidak bisa menunggumu lama-lama. Ka—"
"Cukup, Pa." Ujar Raras pelan.
Jadi ini masih tentang siapa yang menganggur dan siapa yang bekerja. Siapa yang harus di hargai waktunya, dan siapa yang harus menghargai. Hati Raras benar-benar seperti teremas oleh tangan besar tak kasat mata. Merenggutnya keras hingga hampir meluruh jatuh dari tempatnya. Kenapa semua kesakitan itu berasal dari papanya sendiri.
Ah. Sialan. Raras memejamkan matanya selama beberapa detik. Berusaha mendinginkan emosi yang tengah mendesak minta dikeluarkan. Sesakit apapun ucapan papanya, semua itu benar. Setajam apapun cara menyampaikan papanya, semua itu demi kebaikan Raras sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jungkir Balik Dunia Raras
General Fiction[Complete] Raras Ashadewi, gadis manja yang tengah digulung rindu pada Mama yang meninggalkannya tujuh tahun lalu. Mengabaikan ketidaksetujuan sang Papa, Raras membawa kakinya memulai meniti jejak. Sendiri. Lalu dihadiahi oleh Rob seorang 'teman'. T...