Agam menjelma bak angin untuk Raras bernapas sekarang. Kalau bukan karena Agam yang memintanya untuk tetap tinggal lalu menemaninya nanti, barangkali Raras benar-benar memilih mati di bawah goresan silet yang ia simpan di laci nakasnya. Kalau bukan karena Agam yang menguatkan ia saat benar-benar terpuruk semalam, Raras tidak akan memilih bersabar sebanyak ini.
"Mbak, kenapa makan di sini to? Di dalam saja ya?"
"Saya ganggu ya, Budhe?" kata Raras pelan.
"Ya Allah, Mbak. Bukan begitu—."
"Saya tahu," Raras meletakkan sendoknya. Bangkit berdiri, mengacuhkan piringnya yang penuh dengan nasi juga lauk pauk, "Budhe terusin sarapan. Saya mau nyiram bunga saja." tambah gadis itu dengan sebuah senyum yang tak secerah kemarin.
Budhe Parni ingin ikut menitikkan air mata untuk rasa sakit yang lagi-lagi di alamatkan pada putri majikannya yang baik hati. Budhe Parni adalah saksi, bagaimana Raras hancur namun memilih tak menangis. Gadis ayu itu hanya memilih menarik diri, menyembunyikan lukanya di balik kediaman yang mencekam. Delapan tahun lalu, terulang kembali. Budhe Parni seorang ibu. Ikut sakit melihat seorang putri kesakitan akibat polah tak berbelas kasihan kedua orangtuanya.
Saat hati seseorang terluka makanan seenak apapun terasa seperti hambar. Budhe Parni ikut menyimpan piringnya, kalau berselera, siang nanti akan ia makan lagi. Kali ini, kakinya ia langkahkan mengikuti Raras yang sudah tepekur dengan selang air yang beraliran kecil. Menyiram bunga dengan pandangan nyalang. Budhe parni memilih berjongkok untuk mencabuti rumput liar yang tumbuh mengganggu bunga-bunga.
Sebenarnya, ingin sekali Budhe Parni sedikit menghibur putri tuannya ini. Namun ia kepayahan. Tak berani, takut malah membuat Raras semakin merasakan kesedihan. Lagi-lagi, Budhe Parni memilih diam. Membiarkan Raras menyembuhkan sakitnya seorang diri. Menjadi saksi bisu, bagaimana putri ayu ini hidup bak pohon besar di rumah yang penuh dengan derita ini. Berdiri tegap. Tak perlu siapapun, kecuali matahari dan air.
"Ras … "
Budhe Parni menoleh pada seruan tuan mudanya. Sementara Raras hanya bergeming. Seolah suara tadi hanya desau angin lalu.
Rama terlihat menghela napas, "sehabis makan siang, mau jalan-jalan?"
Raras tetap memberi punggung pada kakaknya. Budhe Parni merasakan sakit itu. Air matanya sudah mengintip, melihat tuan putri yang biasanya bertingkah ceria berubah jadi pendiam seolah buta kata.
"Maafin Kakak. Kakak pergi dulu." kata pria itu berlalu menjauh. Sepersekian detik kemudian Sebuah isak terlepas dari bibir Raras yang bergetar.
Gadis itu mencampakan selang airnya. Berlari keras kembali ke rumah. Budhe Parni tahu benar, hanya bantal dan guling tempat gadis itu meluapkan tangis saat seperti ini.
♥♥♥
"Matamu bengkak."
"Kenapa? Gak cantik ya?"
"Cantik. Tambah cantik kalau mau tersenyum."
Godaan recehan, namun tetap saja bisa menerbitkan senyum Raras yang lama tenggelam oleh tangis.
"Sudah makan?"
"Belum."
"Mau disuapi?" tawar Agam dengan senyum gelinya.
Raras memutar matanya sebal. "Nanti kalau sudah nikah. Iya kan?" sindir Raras mengulang jawaban Agam setiap kali Raras meminta hal—yang untuk Raras terasa—lumrah, namun untuk Agam terasa tabu.
Di seberang sana, Agam tertawa menyenangkan. Raras merekam baik-baik tawa ini. Sebagai pemantik, kala Raras ingin menyerah pada hidup. Pria yang masih mengenakan kemeja hitamnya itu, menaruh cinta padanya. Tulus. Meski Raras tak memiliki suatu kelebihan pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jungkir Balik Dunia Raras
General Fiction[Complete] Raras Ashadewi, gadis manja yang tengah digulung rindu pada Mama yang meninggalkannya tujuh tahun lalu. Mengabaikan ketidaksetujuan sang Papa, Raras membawa kakinya memulai meniti jejak. Sendiri. Lalu dihadiahi oleh Rob seorang 'teman'. T...