14. Tangis Tengah Malam

29.1K 3.3K 37
                                    

"Itu milik ibuku !!"

Sentak Ayu-anak angkat Indira-kepada  yang berniat meraih handuk bersih untuk mandi. Raras memutar mata malas, tetap melenggang ke kamar mandi sederhana Mamanya sembari menulikan telinga sementara.

"Jangan pakai sabunku !!" teriak Ayu lagi dari luar sana.

"Ayu, yang sopan sama Kakakmu." suara Indira memperingatkan.

Mata Raras berkeliling, hanya ada sebuah bak besar yang dilapisi dengan keramik dan sebuah gayung. Kendati selalu mandi di dalam bath up atau setidaknya shower, Raras tak akan protes atau bahkan menyernyit jijik. Kamar mandi mamanya bersih. Satu per satu kain yang melekat di tubuhnya, mulai tergantung di sebuah gantungan. Raras mulai mengguyur sekujur badannya yang terasa lengket. Suara benturan air dan lantai meredam suara berisik yang mengganggu. Di luar sana, Ayu kembali memprotes. Bocah itu berdalih, Raras hanya orang asing dan sudah dengan tidak sopan menggunakan fasilitas rumah ibunya tanpa izin terlebih dahulu. Hell. Ibumu, Mamaku juga bocah. Dumel Raras dalam hati.

Sejak drama di halaman sebelum siang tadi, Indira memperkenalkan Raras pada Ayu sebagai anak kandungnya. Ayu yang sudah berusia dua belas tahun nyatanya langsung memasang tameng. Barangkali, bocah itu berpikir bahwa Raras akan merebut kasih sayang Ibu yang baru saja ia rasakan enam tahun belakangan. Padahal Raras tidak sepenuhnya bermaksud seperti itu.

Dari sana, Ayu seperti menganggap bahwa Raras adalah musuhnya. Setiap jengkal langkah yang Raras ambil, mata Ayu selalu mengawasi seakan takut ada barang yang akan Raras curi. Semua barang yang Raras ambil, selalu disindir dengan kata-kata yang sinis. Bahkan saat Raras berusaha beramah tamah pun hanya dibalas dengan wajah melengos. Sialan.

"Kenapa gak nunggu Mama pulang dulu? Mama bisa masakin air hangat buat kamu mandi, udara di Malang dingin, kamu-"

Raras mengecup pipi Mamanya sekilas, "Raras udah dua empat, Ma. Ganti baju dulu ya?" Raras tersenyum hangat, sementara Indira tersenyum haru. Sama-sama bahagia, kendati delapan tahun terbuang tanpa arti.

"Iya, pilih saja."

Lemari Indira, lebih di dominasi oleh berbagai gamis juga daster rumahan. Jilbab berbagai warna juga ukuran, serta beberapa piyama tidur. Dress juga rok span dan blazer yang dulu menjadi pakaian andalan Indira, tak lagi Raras ketemukan di lemari ini. Raras bergumam takjub. Mamanya hidup semakin baik sekarang.

Raras menarik sepasang piyama. Memakainya cepat lalu mengeringkan rambutnya dengan handuk. Baru saja Raras akan menyusul Mamanya di dapur, dering smartphone menahannya lebih dulu. Nama Agam yang terpampang di layarnya, membuat Raras berdecak malas.

"Apa?" sapa Raras ogah-ogahan. Sebut saja Raras seorang gadis tak tahu terimakasih.

"Assalamu'alaikum, sayang. Bukan 'apa' !"

Raras tersedak ludahnya sendiri. Ia berdehem pelan, mengabaikan kekehan geli Agam di seberang sana, "walaikumsalam. Ada apa?" balas Raras masih malas.

"Ibu bilang besok mau ketemu kamu."

Hell. Raras menciut. Strategi liciknya kemarin entah bagaimana tak membuat Raras percaya diri sekarang. Ia takut kalah, "itu... aku gak bisa kalau besok. Soalnya..."

"Alasan. Besok aku jemput jam sepuluh. Pakai baju yang sopan. Jangan dress di atas lutut, apalagi tak berlengan."

"Tapi-"

"Wassalamu'alaikum." lalu sambungan diputus begitu saja.

Raras geram bukan main. Pria itu seenaknya saja memutuskan sambungan tanpa memberi kesempatan Raras bicara. Berbagai sumpah serapah beterbangan di sekitar kepala Raras. Ia tidak suka di atur seperti ini. Terserah Raras akan berpakaian seperti apa.

Jungkir Balik Dunia RarasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang