21. Adiktif

31.7K 3.3K 56
                                    

Pagi-pagi sekali, Raras sudah mengendap-endap ke kamar Rama. Mencuri kamera kakaknya, meskipun wajahnya masih lembab oleh air wudhu tadi. Raras hanya ingin meminjam. Rob lebih dari tahu niat Raras yang tak ia bisikkan. Karena ketahuilah, Rama begitu posesif pada kamera ini. Raras mencoba memegang saja harus ditepis berulang-ulang kali lebih dulu. Jadi lebih baik mencuri saja sekalian. Toh, akan ia kembalikan nanti. Tak perlu risau.

Dari jam enam juga, Raras sudah bersiap di depan kaca. Mematut diri dengan sebaik mungkin. Ia akan kencan dengan Agam ! Bagian mana yang tak membuat gadis itu terlihat bersemangat? Raras memilih skinny jeans dan blouse yang jatuh hingga menutup setengah paha. Agam tidak suka melihat Raras berbaju minim. Saat mereke melakukan video call setiap malam pun, Raras harus berbaju tertutup. Pria itu tidak mau zinah mata terlalu banyak, tuturnya. Raras patuh, sadar benar bahwa ia belum bisa mengabulkan permintaan Agam untuk berhijab.

Raras tiba di halte bus transjakarta-tempat mereka sepakat untuk bertemu. Jika Raras berjalan cepat dengan sebuah senyum sampai ke mata, maka Agam cukup memandangnya dari jauh tanpa melemparkan sebuah senyum. Begitu ya caranya menyambut calon istri?

"Mas ... ?" sapa Raras riang. Ingin sekali melempar tubuhnya pada Agam. Namun tidak. Raras tahu benar, bahwa Agam tak akan memberinya pelukan sampai kalimat ijab qobul itu terlaksana. Yang di Malang waktu itu, sebuah keterpaksaan, kata pria itu minta digampar.

Agam hanya bergumam. Melewati Raras untuk berdiri antre menunggu bus transjakarta yang akan membawa mereka ke Kota Tua. Bibir Raras tercebik sebal. Kakinya mengikuti tepat di samping Agam. Telunjuk Raras sedikit menowel lengan Raras guna meminta perhatian. Bukannya mendapat perhatian alih-alih mendapat delikan. Sialan.

"Nanti," jawab pria itu pendek.

Nanti artinya Agam akan mengomelinya nanti. Entah di mana, yang pasti bukan di tempat ramai namun lebih banyak yang tersenyap menunggu kedatangan bus transjakarta. Ah. Omelan lagi. Dan Raras yakin, omelan Agam nanti tidak akan semanis dua malam yang lalu.

Saat bus tiba, Agam dan Raras ikut masuk. Sementara Raras duduk di area khusus wanita, Agam berdiri dengan satu tangan berpegangan pada tempatnya. Raras menyandarkan punggung. Tahu bahwa kemarahan Agam bukan tak beralasan.

Raras sengaja meminta Agam naik penerbangan terakhir semalam. Agam menyetujui. Pria itu memang sudah memiliki plan tersendiri. Dari membooking hotel yang tak jauh dari tempat tinggal Raras, menelepon rental mobil, hingga menyiapkan mental agar tidak bad mood saat menemani Raras menghabiskan waktu di Dufan. Tapi lagi-lagi sifat egois Raras membabat habis pilihan Agam.

Liburan ke Dufan, Raras alihkan ke Kota Tua, karena ingin membuat Agam nyaman menghabiskan waktu dengannya. Namun bagian pria itu ingin menjemputnya dan lebih dulu pamit kepada papa dan mami, Raras tolak mentah-mentah. Mereka sempat bertengkar masalah ini, tak lama karena sebelum sambungan terputus Agam terlihat sudah baik-baik saja. Namun ternyata belum. Agam barangkali benar-benar tersinggung.

Raras beranjak dari duduknya, kala bus ini berhenti di halte terdekat dari kawasan Kota Tua. Melangkahkan kaki dari pintu, Agam masih berdiri agak jauh namun tetap terlihat menunggunya. Raras mempercepat langkah, tanpa basa-basi langsung menyejajari langkah Agam yang perlahan bergerak meninggalkan halte.

"Aku gak suka kalau kita sembunyi-sembunyi terus." Agam membuka suara di antara derap kakinya.

"Aku kan udah bilang, Mas. Nanti setelah-."

"Aku cuma mau kenalan, Ras. Gak langsung ngelamar. Apa salahnya sih?"

"Sama aja. Papa akan langsung defensif kalau Mas datang kenalan sebagai pacarku."

Jungkir Balik Dunia RarasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang