4. Kehancuran

24.8K 2.9K 32
                                    

Tiba-tiba saja Raras teringat Mamanya.

Saat perhelatan acara pernikahan Nabila kemarin lusa, perasaan rindu dan kosong itu kembali muncul. Menyaksikan Nabila melaksanakan ritual siraman, mengingatkan ia pada Mamanya yang selalu menyiapkan air hangat untuk mandi Raras. Melihat Nabila dan bundanya jualan dawet mengingatkan Raras pada Mamanya yang selalu membuatkan wedang jahe kala Raras mengeluh kedinginan.

Puncaknya saat ritual sungkeman, Nabila menangis di pangkuan sang bunda. Bundanya pun mengelus kepala putrinya penuh sayang dengan air mata yang menganak sungai di wajahnya. Bunda Nabila memberi kecupan kecil-kecil di wajah Nabila di antara isak harunya. Hampir setiap pasang mata tamu undangan, mengusap ujung matanya yang berair saat melihat interaksi sakral penuh arti ini.

Raras menyaksikan segalanya. Ia menitikan air mata bahkan jauh lebih banyak dibandingkan pengantin wanita. Suara isaknya, ia sembunyikan sedemikian rapi. Membuat jantungnya tertekan. Seperti tertikam ribuan pisau. Ia melenguh sakit. Dadanya sesak dan meminta ia pukul untuk membebaskan sedikit rasa sakit. Saat rasa sakit itu tak mampu lagi ia tahan, Raras berlari menjauh. Berakhir di kamar Nabila yang sudah tersulap bagai taman bunga. Raras hanya terus menumpahkan kesakitannya di sudut kamar, tak berniat merusak dekorasi kamar pengantin sahabatnya, demi sebuah pelampiasan rasa sakit. Peduli setan pada pandangan perias manten yang tertuju ke arahnya.

Sejak delapan tahun yang lalu, ia tak lagi mendapatkan sekadar elusan apalagi kecupan dari sang Mama. Hari di mana Raras tak menemukan Mamanya di setiap sudut rumah, merupakan hari terakhir ia melihat wanita yang melahirkannya itu. Tak ada pesan sebaris pun yang Mamanya tinggalkan. Hati anak mana yang tak berteriak jika seperti itu. Padahal malam sebelumnya ia masih tidur dengan sebuah kecupan selamat malam dari sang Mama. Saat matanya terbuka, nyatanya keadaan sudah berseberangan.

Raras menangis meraung-raung. Ia meminta papa untuk mencarikan Mama, namun papanya hanya bergeming. Papa memilih mengunci diri di ruang kerjanya-entah melalukan apa. Raras berusaha menghubungi Rama yang masih berada di luar negeri saat itu. Raras mengadu segalanya pada Rama. Memohon pada Rama untuk mencari Mama, namun Rama tetap tak bisa melakukan apapun. Rama tak sekuat itu untuk mengembalikan Mamanya pada Raras.

Raras sendirian. Ia menekuk kedua kakinya, menyembunyikan banjir air mata di wajahnya. Budhe Parni menemaninya menangis, tapi itu sama sekali tak mengurangi rasa sakit yang mendera. Raras masih remaja enam belas tahun. Ia hidup bak puteri untuk mama dan papanya. Ia tak memiliki daya juga kuasa untuk membawa lari kakinya sendiri mencari keberadaan sang mama.

Terlalu kecewa. Itu yang Raras rasakan hari itu. Kecewa terhadap Mama yang meninggalkannya. Kecewa terhadap Papa yang tak memberinya pelukan, dan membiarkan Raras hancur tanpa sandaran. Kecewa pada Rama yang sama sekali tak membantunya. Kecewa menjadi dirinya yang manja.
Hari itu Raras memuaskan diri menumpahkan air mata. Ia masih memiliki harapan bahwa Mamanya akan kembali esok hari. Mengucapkan maaf karena membuat Raras ketakutan setengah mati. Tapi nyatanya harapan tinggalah harapan. Mamanya tetap tak kembali. Papanya tetap mengurung diri di kamar.

Ia marah. Raras putuskan tak akan menitikan lagi air matanya. Tidak untuk Mama. Tidak pula untuk Papa. Raras mengeraskan hati. Menyerahkan pada orangtuanya memilih kebahagiaan mereka masing-masing, meski harus melupakan ada Raras dan Rama yang ikut menanggung sakit di antara mereka. Raras benar-benar mengeringkan air matanya sejak itu. Sesakit apapun hatinya mendengar setiap kata-kata tajam yang terlontar dari papanya, Raras tetap tak membiarkan matanya menangis. Ia tetap harus kuat.

Dan sungkeman sialan itu benar-benar membuat Raras kembali menjadi gadis enam belas tahun yang cengeng. Sial.

"Kamu nangis, Ras?"

Buru-buru Raras menyeka kedua ujung matanya. "Tidak Bu. Ini hanya kelilipan." kilahnya bodoh. Nyatanya air mata sialan ini tak mau berhenti.

Jemari hangat Bu Rahmi menangkup kedua sisi wajahnya. Memaksa Raras menjadi lemah dan memeluk tubuh kuat pengganti Mamanya yang hilang.

Jungkir Balik Dunia RarasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang