6. Pilihan Lain

31.7K 3.6K 45
                                    

Rama hampir kehabisan akal untuk membuat Raras kembali angkuh dan tidak peduli seperti dulu. Lebih mudah baginya menghadapi rengekan Raras dibandingkan dengan kediaman gadis ini. Raras yang diam dan hanya memandang kosong pada apapun, membuat Rama merasa gagal menjadi seorang kakak. Padahal Raras begitu bangga terhadapnya. Raras orang pertama yang membuat Rama merasa menjadi pria yang bisa diandalkan.

Tak muluk-muluk, Rama hanya ingin Raras keluar dari kamar. Sekadar mengambil minum, atau meneriaki Budhe Parni meminta jatah makan juga tak apa. Namun itu semua hanya nol. Hingga malam berganti, Raras tetap diam. Ia tak akan keluar, sekadar melongokkan kepalanya.

Seperti kali ini, Raras hanya bergelung di pelukannya, matanya terpejam, pura-pura tertidur. Tidak ada lagi air mata, hanya pandangan nyalang tanpa nyawa. Rama menghela napas kasar. Mengelus rambut Raras, yang membuat gadis itu kembali terjaga.

"Ras?"

"Hm."

"Kakak lapar."

"Ya makan."

"Kakak malas makan masakannya Budhe."

Raras mendongak. Pandangannya sedikit bernyawa dengan tatapan bingungnya. "Lalu?"

"Pengen makan masakan kamu."

Bibir Raras terbuka tanpa mampu mengumpat. Ia tidak pernah masak. Dan demi apa kakaknya ngidam ingin makan masakannya. Pada akhirnya, tangan Raras yang bekerja lebih dulu. Mencubit keras perut kakaknya yang membuat pria itu tergelak keras. Sial. Raras ingin menganiaya, bukan melawak.

Tentu saja Rama tergelak, pancingannya termakan sempurna. Ia tahu Raras paling tidak suka disinggung mengenai keahlian memasak dan membersihkan rumah. Gadis itu akan langsung tersentil harga dirinya. Ah. Rama lega sekarang. Setidaknya Raras bisa kembali bersungut-sungut.

"Ingat tidak Ras?" Raras menaikkan sebelah alis. Tangannya melingkar lagi di perut kakaknya. "Dulu waktu budhe pulang kampung, kamu pernah masak telur mata sapi buat kita bertiga. Memang hasilnya-"

"Gosong. Juga keasinan. Gak usah mengejek deh kak." potong Raras masih sebal.

Rama kembali tergelak. "Tapi baik kakak maupun Papa gak ada yang protes kan? Kita tetap makan telur buatanmu."

Raras mengangguk. Ah. Ia jadi terharu. Cinta yang seperti ini yang ia mau. Yang menerima ia apa adanya. Yang tetap menghargai jerih payahnya yang berusaha mencoba sekalipun hasilnya mengenaskan.

"Kakak pengen makan telur buatanmu lagi." pancing Rama sekali lagi. Tujuan Rama hanya satu. Membuat Raras keluar dari sangkarnya.

"Ayo !! Nanti kalau sakit perut, jangan protes ke Raras." jawab Raras cuek. Jika Rama sudah begitu baik kepadanya, tidak mungkin Raras akan menolak demi sebuah telur. Ia bangkit dari pelukan Rama. Menggelung rambutnya asal. Lalu melenggang keluar tanpa menunggu kakaknya.

Rama mengulum senyum penuh kelegaan. Mendengar suara Raras yang kembali bersemangat, membuat angin sejuk seperti menamparnya begitu hangat. Ia bangkit dari ranjang Raras yang beraroma buah jeruk ini. Mengikuti derap langkah adiknya menuju dapur.

Bertahun-tahun tinggal di rumah ini, belum membuat Raras akrab dengan segala perabotan yang ada. Jelas saja, Ia hanya masuk dapur saat kerongkongannya terasa kering. Seperti sekarang, mencari pan saja ia harus membuka semua kitchen islandnya. Di mana telur disimpan pun Raras harus belingsatan seperti gasing terlebih dahulu. Memalukan. Sungguh.

"Bisa gak nyalain kompornya?" Goda Rama. Ia menggigit sebuah apel. Menyandarkan tubuhnya pada kitchen set di samping Raras.

"Aku gak senorak itu." balas Raras sengit. Ia mulai menyalakan kompor. Memanaskan pan, hampir saja ia akan memecah telur, sebelum ia ingat bahwa pan nya belum terbasahi oleh minyak.

Jungkir Balik Dunia RarasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang