Tidak ada suatu pekerjaan pun yang terasa mudah. Seorang direktur yang kelihatannya hanya ongkang-ongkang kaki pun pasti juga merasakan lelah. Apalagi yang bekerja dengan banyak tenaga seperti Budhe Parni, menguras habis darah merah.
Pekerjaan Budhe Parni tak tanggung-tanggung. Seisi rumah hampir semua Budhe Parni yang mengurus. Menyapu dua lantai juga halaman, cuci piring dan lain sebagainya. Baju kotor Raras, Rama bahkan Mega pasti akan diserahkan ke tangan Budhe. Tiga anak tuan besar ini, hanya tahu tumpukan baju yang sudah wangi juga rapi bertengger di atas ranjangnya. Untuk baju kotor Papa dan Mami, Mami sendiri yang mengerjakan.
Dan lihalah, semua baju yang menggunung di ruang terbuka di samping kamar kecil Budhe Parni. Membuat darah Raras naik memenuhi otaknya. Tangannya hampir lepas karena terlalu lama menyeterika. Terlebih ini adalah percobaan pertamanya. Ya Tuhan. Berat sekali menjadi seorang wanita.
"Saya gantikan saja Mbak?"
"Sebentar lagi selesai, Budhe." ini jawaban yang sama entah ke berapa dari bibir Raras yang tak henti memberengut. Tangannya memang pegal, tapi ia tak sampai hati untuk memberikan pekerjaan ini kepada Budhe. Budhe sudah terlalu tua. Kalau Papa sudah berubah menjadi malaikat lagi, Raras akan meminta Budhe dicarikan asisten. Mana boleh mengeksploitasi tenaga tua wanita renta ini.
"Mbak Raras makin pinter sekarang." Budhe Parni memuji. Sementara tangannya bergerak lincah melipat semua bed cover beserta selimutnya.
"Jadi kemarin saya bodoh ya? Ouh." Raras pura-pura tersinggung. Wajah Budhe Parni pias dalam sesekon kemudian. Pecahlah kikikan Raras yang membuat Budhe ikut menarik senyum senang.
Menyeterika memerlukan waktu yang tak sedikit. Selain tangannya yang pegal, kaki Raras juga seperti kesemutan. Dibantu dengan Budhe, Raras memilah semua baju-baju itu, dan dibagi dalam tiga keranjang sesuai pemiliknya. Tangan Budhe Parni bekerja dengan cepat, matanya juga begitu jeli, sekali lihat saja Budhe langsung bisa membedakan antara baju Raras ataupun Mega. Setelah semua terbagi dengan benar, Raras yang kembali mengajukan diri untuk mengantar baju-baju ini ke pemiliknya. Kasihan, jika Budhe Parni harus naik turun lantai dua berkali-kali.
Ah. Budhe Parni, begitu keras bekerja selama ini. Ke mana saja wahai Raras? Kenapa baru sadar sekarang?
"Punyaku sama punyanya kakak sekalian Budhe. Capek kalau bolak-balik." pinta Raras, dan Budhe Parni menumpuk sebuah keranjang di atas keranjang yang lain.
"Hati-hati ya, Mbak?"
Raras hanya bergumam. Rumah sepi meski sekarang adalah weekend. Papa pergi entah ke mana, dan Mami menemaninya. Itu yang Raras dengar. Mega, barangkali ada di kamarnya. Kaki Raras melangkah pelan-pelan. Ia tak bisa melihat langkah kakinya sendiri. Maka saat menapaki tangga, Raras hanya percaya pada kebiasaan kedua kakinya saja. Semoga kakinya sudah hapal mati. Atau jika tidak, nyawa Raras yang akan mati.
Pintu kamar Rama terbuka sedikit, Raras mendorongnya pelan.
"Laundri." pekik Raras sekeras suara pengantar koran.
Rama melotot ke arahnya. Apakah Raras mengganggu? Harusnya tidak. Raras acuh. Setelah meletakkan baju Rama di ranjang, Raras berniat untuk menyimpan pakaiannya sendiri. Belum juga mencapai pintu, suara Rama menginterupsi.
"Jadi adikku ini tukang laundri atau maling?"
Maling? Ouh. Raras meringis seketika. Ia membakikkan punggung, melempar cengiran pada kakaknya.
"Aku cuma pinjam. Kameranya masih utuh, gak kujual. Itu artinya aku enggak maling." tandas Raras.
Pria itu mendengus, melempar buku tebal yang baru saja ia baca ke sudut ranjang yang lain. Kaki Rama mendekat ke arah adiknya yang bertampang songong ini. Tidak merasa bersalah sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jungkir Balik Dunia Raras
General Fiction[Complete] Raras Ashadewi, gadis manja yang tengah digulung rindu pada Mama yang meninggalkannya tujuh tahun lalu. Mengabaikan ketidaksetujuan sang Papa, Raras membawa kakinya memulai meniti jejak. Sendiri. Lalu dihadiahi oleh Rob seorang 'teman'. T...