7. Jemu

29.3K 3.6K 24
                                    

Jantung Raras berdebar hebat. Matanya memanas memandang bangunan di arah sampingnya. Tak ingin air matanya turun sekarang, Raras memilih memalingkan wajah. Mula-mula, ia mengambil napas panjang. Membuangnya begitu perlahan, seakan ingin menahan udara bersih itu di dalam tubuhnya, sebagai cadangan kala sesuatu yang ia takutkan menjadi kenyataan.

"Tunggu sebentar ya, Pak." katanya pada sopir taksi.

Sopir taksi itu mengangguk sopan. Mempersilahkan pelanggan yang akan membayarnya mahal kali ini. Lihat saja senyum semringahnya kala ekor mata itu menangkap beberapa digit yang terpampang di argonya.

Raras melangkah turun. Sneakersnya lebih dulu menapak pada tanah berumput rapi. Suhu kota Malang yang sejuk, tak urung membuat tangan Raras melingkari badannya. Mata Raras berkeliling. Menyapu rumah yang tak asing di ingatannya. Namun waktu sepuluh tahun cukup untuk membuat suasana di rumah ini berubah.

Memilih acuh, Raras mengambil langkah pertamanya. Ia mendekati pagar, mendorong gerbang yang hanya sepinggangnya-yang kebetulan tidak terkunci. Raras bernostalgia sebentar, dulu ia pernah memeletkan lidahnya kepada Rama yang di kunci di luar oleh Papa karena bermain dan tak ingat pulang. Rama marah. Bahkan ia sempat melempar kerikil kecil tepat di jidat Raras, yang justru semakin membuat Rama mendapat hukuman. Tak urung, Raras tersenyum kecil.

Suasana berbeda kembali menyambut Raras. Halaman luas yang terbelah menjadi dua oleh jejeran paving ini dulunya memiliki sebuah ayunan dari ban yang digantungkan pada bambu-bambu. Beberapa pohon rambutan juga tumbuh subur di sudut-sudut halaman. Di bawah pohon itu, dulunya ada empat buah kursi dari bongkahan akar kayu, berikut dengan meja berbahan sama. Namun sekarang tidak ada lagi semua yang pernah otak Raras simpan. Rumah ini asri oleh bunga, sebuah kolam ikan, tanpa pohon rambutan.

Kaki Raras tiba di sebuah pintu tanpa ukiran. Jantung Raras semakin berdentum hebat. Dengan sedikit bergemetar, Raras mengetukkan telapak tangannya pada permukaan pintu. Ketukan pertama dan kedua tak mendapatkan sahutan. Barulah di ketukan yang ketiga kali, suara wanita menghembus hingga telinga Raras. Raras semakin hilang kendali. Keguguban serta ketakutannya kian menjadi. Tangan yang ia simpan di dalam jacket denimnya terasa hampir membeku.

Tuhan. Semoga benar. Doanya dalam hati.

Perlahan pintu terbuka. Menampilkan seorang wanita muda, dengan celemek yang penuh dengan tepung. Mau tak mau Raras mendesah kecewa. Ia ingin sekali marah pada keadaan, tapi ia urungkan. Barangkali, yang ia cari berada di dalam rumah satu lantai ini.

"Cari siapa ya, Mbak?" tanya wanita itu sopan. Keningnya berkerut bingung, mendapati wanita cantik berdiam mematung di depannya.

Raras mengepalkan tangan yang tersimpan di jacketnya. Mengumpulkan kekuatan untuk kemungkinan terburuk.

"Mama saya. Indira." Jawab Raras tergagap. Bullshit dengan kesopanan, Raras tengah sibuk menekan ketakutannya.

Wanita itu mencebikkan bibir. Rupanya Ia berlari dari dapur hingga pintu, hanya untuk meladeni orang salah alamat. "Maaf, Mbak. Tidak ada Mama mbak di sini. Barangkali Mbak salah alamat." katanya masih sopan.

Raras menggeleng kuat. Ketakutannya menjadi nyata. Matanya sontak memanas. "Saya tidak mungkin salah alamat, ini ... rumah peninggalan kakek saya ... dan Mama saya harusnya ada di sini."

Ah. Wanita muda itu paham sekarang. Ia menangkap kegelisahan dari gadis cantik di depannya. "Begini ya, Mbak. Maaf sebelumnya, saya sudah membeli rumah ini sejak tujuh tahun yang lalu. Mungkin memang benar ini rumah kakeknya mbak. Tapi sekarang tidak lagi. Ini rumah saya dan suami saya. Dan mengenai Mama Mbak, dia tidak ada di sini. Tidak ada juga seorang wanita asing yang berkunjung ke mari." jawab wanita itu panjang lebar. Sedetik kemudian ia sedikit mengutuk apapun yang telah ia sampaikan.

Jungkir Balik Dunia RarasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang