Part 5

7.1K 710 180
                                    

Yakinlah selain kehidupan dunia yang keras ini, masih ada bentuk lainnya yang keras di antara kita. Seperti kekerasan usahaku dalam memasuki hatimu.. Shaka.

Dua cangkir kopi hitam pekat mengepulkan asap panasnya, di sampingnya sepiring pisang goreng menemani sang kopi untuk mewarnai indahnya pagi ini. Shaka bersama Syafiq tengah duduk berdua di teras depan rumahnya di mana tampak anak kecil berlari-lari di jalanan. Maklum saja ini adalah hari sabtu, waktunya anak-anak bermain dan melupakan sejenak tentang pelajarannya.

"Kadang iri kalau melihat anak-anak bermain. Wajah mereka enggak ada beban sedikitpun." Tubuh Syafiq terlihat santai bersandar pada kursi kayu berplistur cokelat. Senyum di bibirnya belum juga pudar menatap bagaimana wajah bahagia yang terpancar dari anak-anak kecil.

Terkadang Shaka suka aneh melihat sepupunya itu, mengapa mereka terlihat begitu sama tetapi selalu saja sifat keduanya saling bertentangan. Ada saja hal yang sering kali mereka ributkan berdua. Sampai-sampai kedua orang tua mereka lelah untuk memisahkannya.

Namun biar bagaimanapun sifat keduanya, yang jelas baik Syafiq maupun Shaka saling menyayangi. Ya, walau Syafiq belum pernah berkata seperti itu langsung pada sepupunya itu. Tetapi Shaka tahu dari sikapnya yang terkadang sudah menunjukkan hal tersebut.

Pikiran Shaka mulai melayang, berharap bila kasih sayang mereka sebagai seorang saudara tidak seperti penutup payudara yang sering salah diartikan oleh perempuan. Bolehkan kalau Shaka membandingkannya dengan itu? Kenapa bisa dia berkata seperti ini. Usut punya usut, Shaka tidak sengaja pernah melihat ukuran benda itu yang setiap saat dipakai perempuan.

Terus apa masalahnya?

Masalahnya benda itu sering kali menjadi pusat kebohongan bagi publik. Bayangkan saja yang terlihat dari luar sebesar semangka merah, tetapi ketika dibuka seperti buah cherry merah yang pohonnya sering ia panjat saat kecil dulu.

Maka dari itu terkadang lelaki sering merasa kesal atas pembohongan tersebut. Untuk itu Shaka berharap kasih sayangnya dan Syafiq tidak sama seperti penutup payudara.

Sebelum Syafiq menyadari pikiran aneh tersebut, Shaka berbalik kembali menatap anak-anak yang masih tertawa riang berlari-lari di jalanan depan rumah. "Iya, pikiran mereka hanya ada bermain dan kadang-kadang belajar. Masalah hidup terberat cuma pelajaran matematika." Tawa laki-laki yang memiliki senyum manis itu terbit begitu saja ketika mengakhiri ucapan yang terlontar dari bibir ini.

Pikirannya terbang melayang seakan kembali ke masa dimana ia hanya seorang murid yang diharuskan belajar. Selebihnya tidak ada hal berat yang perlu dipikirkan. Memang dulu sering kali Shaka berdoa kapan ia akan menjadi orang dewasa. Karena melihat ayah dan bunda yang begitu saling mencintai membuatnya iri, kapan ada sosok lain yang mencintainya setulus bunda mencintai ayah.

Tetapi, mengapa ketika sudah besar dan memiliki banyak pikiran berat, ada keegoisan untuk kembali kemasa dimana hanya ada dirinya seorang. Shaka si anak kecil yang selalu disayang ayah dan bunda.

"Lo enak, masa kecil lo bahagia. Ada Ayah lo yang selalu ada dan ngajak lo main bareng." Ada nada kesakitan saat Syafiq mengatakan isi hatinya. Belasan tahun Shaka mengenalnya baru kali ini laki-laki itu mendengar Syafiq mengeluh.

"Jangan iri atas apa yang dimiliki oleh orang lain, Bang. Asal lo tahu, gue juga iri sama diri lo. Iri banget malah."

Syafiq berpaling menatap sepupu nakalnya itu, keningnya berkerut dalam seakan bingung apa yang Shaka irikan darinya. "Enggak usah pasang tampang aneh begitu, Bang. Lo mau tahu gue iri kenapa?"

"Iya lah gue mau tahu. Kan aneh lo iri sama gue."

Shaka cuma bisa meringis. Mengusap bidang dadanya sendiri yang terasa sakit. Padahal belum ada penjelasan mengapa ia iri kepada Syafiq.

Merry Go-roundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang