Part 14

6.1K 518 165
                                    

Bahagia tak pernah dibiarkan datang sendiran. Duka tak luput digandengnya. Luka tak lupa digenggamnya.. Shaka

Sudah hampir 2 jam Shaka masih tidak bergerak dari tempat. Bersujud pasrah sembari mengangkat kedua tangannya untuk memohon ampun padaNya. Kejadian yang menimpa Rara sungguh tidak pernah terpikirkan oleh Shaka. Sampai detik terakhir tadi melihat Rara setengah sadar dibawa keluar dari ruang tindakan ke ruang perawatan membuat hati Shaka meringis sakit.

Entah mengapa kejadian ini bisa terlewat begitu saja dari pantauan Shaka dan juga Rara. Karena kali ini Shaka harus ikhlas kehilangan yang bahkan belum sempat dia ketahui.

Rara mengalami keguguran..

Shaka bahkan sama sekali tidak tahu jika Rara sedang hamil. Jika Fatah tidak memberitahunya mengenai pengeluaran janin yang tidak berkembang di dalam rahim Rara, Shaka tidak akan tahu istrinya tengah hamil.

Hati Shaka seperti teriris-iris. Dirinya kini seperti seorang suami yang jahat sekali. Membiarkan buah cinta mereka pergi begitu saja sebelum mereka sempat memilikinya.

Jika dipikir-pikir kelakuan Shaka dulu tidak terlalu nakal. Hanya sering mengganggu Syafiq saja yang merupakan sepupunya. Tapi kenapa kini Tuhan memberikan ujian yang begitu berat. Yang bahkan Shaka belum siap untuk menerima hasilnya.

Astaghfirullah al'adzim. Kenapa cobaan hidupnya seberat ini. Semoga pengobatan yang sebelumnya sudah Rara jalani harus mereka ikhlaskan untuk pergi.

Ingin rasanya Shaka berontak, meminta keadilan kepada Tuhan. Namun jika dia pikir-pikir lagi, mungkin memang jalan hidupnya seperti ini. Dia harus ikhlas. Ikhlas melepaskan sesuatu yang belum sempat dia miliki. Karena Shaka yakin kelak dia akan menunggu Rara dan Shaka di depan pintu surga dengan sebuah payung di tangan mungilnya.

"Maafin Papa ya nak."

Air mata yang sejak tadi Shaka tahan akhirnya tidak terbendung juga. Dia menangis. Memohon beribu ampun kepadaNya. Shaka yakin kejadian ini merupakan teguran. Teguran dariNya yang sedikit tidak peka atas perasaan Rara.

"Bang."

Shaka menggigit bibirnya, melirik Imam yang sudah turut duduk di sampingnya dengan sebelah tangan mengusap-usap punggung Shaka. Perasaan sabar perlahan merayap di hati Shaka. Kedatangan ayahnya sedikit banyak membuat kondisinya membaik.

"Abang tahu kah setiap kita adalah Ibrahim?"

"Enggak." Jawab Shaka seadanya.

Imam tersenyum melihat putranya yang dia yakini kuat melewati semua ini.

"Jangan ngomong yang aneh-aneh, Yah. Shaka lagi enggak berniat dengar semua itu."

Senyum Imam tidak kunjung luntur. "Ayah cuma ingin sekilas menjelaskan." Katanya masih menepuk-nepuk punggung Shaka.

"Setiap kita adalah Ibrahim dan setiap Ibrahim pasti memiliki Ismail. Ismailmu mungkin adalah hartamu, mungkin jabatanmu, gelarmu dan bisa jadi egomu. Ismailmu adalah sesuatu yang kau sayangi dan kau pertahankan di dunia ini. Ketika pada zamannya Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail, namun Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa KEPEMILIKAN terhadap Ismail. Karena hakekatnya semua adalah milik Allah. Seperti yang tengah kita semua rasakan di sini. Allah tidak pernah memisahkan kita dari dia, calon anakmu. Tapi Allah memisahkan kita dari rasa kepemilikan ini. Di sini bukan hanya kamu yang kehilangan, tapi semuanya. Bukan pula kamu saja yang rapuh, tapi semuanya. Jadi ayah minta kepadamu untuk mengikhlaskan segala yang terjadi. Mungkin memang ini jalannya untuk menjadi lebih baik kedepannya. Setidaknya kamu tahu, Allah selalu mendengarkan doamu."

Mendengar kalimat terakhir ayahnya, Shaka semakin menunduk malu. Dia menangis merasa semakin terpuruk atas kenyataan ini.

"Kamu paham kan, Bang?" tanya Imam pelan.

Merry Go-roundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang