"Nay, lo udah bangun?"
Nayra berusaha membuka matanya. Masih berat. Entah kenapa akhir-akhir ini ia memang sedikit sulit untuk membuka matanya ketika setelah tertidur. "Gue dimana, Ta?" Nayra melihat sekelilingnya. Ada Sinta, Tyo tapi tidak ada Icha dan Randy. Nayra berusaha bangkit, tadinya Tyo ingin membantu Nayra, tapi ia sudah didahului Randy yang jauh lebih dekat dengan Nayra.
"Gimana keadaanya?" tanya Randy penuh perhatian.
"Tadi kayaknya habis nabrak orang, siapa ya?" Nayra linglung.
"Yang lo tabrak itu Randy," celetuk Sinta.
Nayra memandang Randy. Randy tersenyum manis. Tyo paling tidak suka jika ada adegan seperti ini. Ia lebih baik berpaling. "Maafin aku ya," ucap Nayra lirih. Randy tersenyum lagi, sudah berkali-kali Nayra melihat senyum yang menyenangkan itu. Kemudian si empunya senyum manis itu tersenyum kepada Nayra. Nayra merasakan ketentraman hatinya, tapi rasa tentram itu mendadak hilang, ia merasakan kepalanya begitu sakit. Amat sangat sakit. Ia tak dapat menahan rasa sakit itu lalu ia pingsan.
"Nayra semakin parah, Dok."
"Lalu apa yang harus saya lakukan? Tolonglah Nayra, Dok. Karena yang saya tahu, hanya Dokter Fariz lah satu-satunya ahli kanker di rumah sakit ini."
"Kita tunggu perkembangan selanjutnya. Jika obat-obatan itu tidak mampu menolongnya. Saya akan cari jalan lain."
"Lakukan yang terbaik untuk anak saya. Apapun itu, berapapun besar biayanya saya akan bayar."
Dokter Fariz pun mengangguk pasti.
E&F
"Nayra dimana, Ma?" tanyanya lirih.
"Kamu di rumah sakit."
"Nayra sakit apa?"
Mamanya terdiam. Tak menjawab satu patah kata pun. Nayra mengoyangkan tubuh mamanya.
"Ma... Nayra sakit apa kok sampai harus dirawat?"
"Nayra enggak apa-apa kok, cuma kelelahan aja."
Nayra mengangguk percaya. Dalam hati mamanya, sungguh sedih. Ia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika ia berkata jujur pada putri kesayangannya itu. Ia tak ingin Nayra melihat tangisannya, ia pun bergegas keluar kamar. Dihempaskannya tubuhnya di kursi ruang tunggu di depan kamar. Ia tak mampu lagi menahan airmatanya. Namun, tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang memberinya kehangatan. Ia merasa harus menoleh dan mengetahui siapa orang yang telah menenangkannya. Tak lain dan tak bukan itu adalah jagoannya. Jemy. Putra satu-satunya yang ia miliki, hanya Jemylah yang paling ia harapkan untuk bisa menjaganya dan juga Nayra. Ia menatap Jemy lemah. Disandarkannya kepalanya di bahu sang putra. Dengan setulus hati, Jemy mencoba menenangkan sang mama. Ia pun begitu menyayangi sang mama. Tak akan ia biarkan satu orang pun yang akan menyakiti mamanya ataupun Nayra.
"Jem, mama nggak sanggup melihat Nayra begitu. Mama rasanya telah gagal merawat dia," ujar mamanya lirih.
"Mama enggak boleh ngomong begitu. Ini semua bukan salah mama, ini takdir, Ma. Kita harus ikhlas, mungkin ini ujian buat kita semua."
"Tapi kenapa harus Nayra, Jem? Kenapa harus dia?" mamanya kembali terisak. Jemy semakin memeluk mamanya erat. Entah apa yang harus diperbuatnya setelah ini. Ia bingung. Kesedihan yang dirasakan sang mama rupanya langsung mengena ke hati Jemy. Jemy pun merasakan tak rela dengan semua kondisi ini. Ia merasa hidup sungguh tak adil pada adiknya itu. Jemy sudah berjanji akan menjaga Nayra. Namun, rasanya ia memang telah gagal menjaga Nayra. Rupanya takdir sudah memilih Nayra sebagai korbannya. Ingin sekali rasanya Jemy menangis, ia sungguh ingin meluapkan emosinya. Terlebih lagi, hal ini menjadi mengingatkan dirinya akan sosok sang ayah. Ayah yang jahat dan penuh tega. Ia mendadak geram dengan sang ayah itu. Andai saja ayahnya tahu kondisi Nayra saat ini, ia ingin lihat apa yang akan dilakukan ayahnya itu. Tanpa mamanya mengetahui, Jemy mengepalkan tangan tanda perang akan dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak ke Mana
RomancePenerbit: Media Pressindo Tahun : 2O13 aku pernah mencari-cari sampai tertelan lelah berkali-kali bermimpi tentang mereka dengan sedikit susah payah atau mengharapkan kasih mereka agar selalu siaga. mungkin aku tak menyadari, cinta takkan pernah kem...