Part 6

56.1K 2.9K 9
                                    

Revisi : 22 April 2017

Kau adalah rangkaian puzzle.
Aku adalah pemainnya.
Aku telah mengira rangkaian mana yang akan menggambarkanmu sempurna.
Namun tak satupun memberi hasil yang memuaskan.
Mungkinkah engkau terlalu rumit untuk kupecahkan?
Atau justru pemikirankulah yang terlalu rumit padamu?

.........

Kurasakan angin malam yang menerpaku dari jendela kamar yang telah kubuka lebar. Angin yang membelai wajah dan kerudung shalatku kubiarkan begitu saja.

Aku baru saja menjalankan shalat Isya dan dari kebiasaanku, aku akan membuka jendela jika aku sedang banyak fikiran. Aku merasa fikiranku akan sedikit tenang dengan seperti ini. Seolah angin dingin ini akan membawa semua keluh kesahku walau ibu selalu menasehatiku bahwa angin malam itu tak baik untuk kesehatan.

Beberapa hari ini nyatanya aku terus membuka jendela kamarku tanda jika fikiranku telah membebaniku.

Aku duduk tepat di depan jendela kamar yang terbuka. Menatap ke arah bintang-bintang yang berkerlap kerlip dan bulan separuh yang menambah kesenduan malam ini.

Fikiranku berkecamuk.

Ini sungguh bukan hal yang baik tapi justru sangat membingungkan dan membuatku terus gelisah. Dan aku yakin orang tuaku juga merasakannya.

Bapakku sudah tau dan seperti yang sudah kuperkirakan ekspresinya kosong seperti orang kebingungan ibuku pun tak ada bedanya dengan bapak.

Aku adalah satu-satunya anak mereka dan ku yakinkan sulit untuk bapak dan ibu untuk memutuskan jawaban mereka.

Farhan Andriawan itu... rumit.

Dia adalah orang yang sangat berani. Aku tak menyangka ia akan mengajukan lamaran yang langsung membuat semuanya kebingungan. Mengapa ia sangat sulit untuk ditebak?

Seolah dia punya pemikiran yang sangat berbeda. Aku kebingungan menghadapinya.

Ya Allah beri aku petunjuk.

Aku menutup kembali jendela kamar dan merapikan kembali mukena shalat yang telah kupakai.

Aku duduk di pinggir ranjang sambil membuka buku pelajaranku walau bagaimanapun aku harus belajar ditambah jadwal UAS yang tinggal 2 hari lagi.

Walaupun kepalaku rasanya berputar tapi biarlah, aku membutuhkan mengalihkan perhatian dari kejadian yang menimpaku saat ini.

........

Hari senin tiba, aku gugup.

Terus aku lantunkan dzikir semoga Allah meringankan apapun yang akan kuhadapi nanti.

Selama beberapa bulan terakhir ini aku disibukkan dengan banyak pembelajaran yang menguras waktu dan tenaga. Semoga usahaku membawakan hasil maksimal, aamiin.

Tapi sejujurnya aku takut karena beberapa hari belakangan ini fikiranku terus teralihkan dengan orang 'itu'.

Aku gelisah.

"Nis, jangan tegang gitu ih."  aku berbalik menatap Laila yang terlihat santai duduk dengan sekotak susu cokelat di tangannya.

"Aku gugup Laa." Aku meremas ujung kerudungku.

Kami berdua sedang duduk di kursi di bawah pohon rindang depan ruangan UAS ku.

Laila mengangkat satu alisnya, "Annisa Humaira pernah bilang padaku apapun hasilnya nanti toh kita kan sudah usaha jadi kita serahkan saja sama Allah." Laila tersenyum.

Aku mengangguk. Ya benar, aku sudah usaha dan tentang hasilnya itu urusan Allah. Memikirkan itu aku sudah lebih tenang.

"Yuk masuk kelas. Mau buru buru bikin contekan." Laila nyengir saat aku memelototinya, awas saja dia.

Annisa Humaira (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang