Part 18

42.4K 2.4K 7
                                    

Revisi : 4 Mei 2017

Kau bukan nafas yang kuhirup untuk mengisi paru-paruku.

Kau bukan indera penggerakku yang menggerakkan kaki dan tanganku.

Kau bukan pandanganku untuk mengisi penglihatanku oleh kehadiranmu.

Lalu kenapa? Kenapa saat kau tak ada di sampingku aku susah bernafas, aku terpaku mematung di tempat dan pandanganku mengabur karena cairan bening yang terbendung penuh di pelupuk mataku.

........

Aku terduduk sendirian di bangku di depan ruang rawat Laila yang sedang menjalani pemeriksaan. Ayah dan ibunya Laila sedang pergi bekerja sore nanti baru pulang sedang aku dipercayakan menjaga anak mereka dan jika terjadi apa-apa harus segera menelfon.

Aku membuka buku pelajaran yang kubawa dari rumah supaya aku bisa belajar bersama Laila atau mungkin belajar sendiri saat Laila beristirahat atau menjalani pemeriksaan seperti sekarang.

Saat sedang fokus pada buku di tanganku aku merasa aku diperhatikan seseorang. Aku mendongak dan melihat wanita paruh baya berkursi roda yang dulu kutemui berada 3 meter di depanku.

Aku tersenyum ramah kepadanya. Ia menatapku membuat aku menggeliat tidak nyaman karena terus diperhatikan. Ada apa yah?

Akhirnya setelah lama menimbang aku putuskan menghampirinya.

"Assalamualaikum tante." aku melangkah dan berjongkok di depannya.

Ia tersenyum tipis. Walau pucat dan ikatan rambutnya sedikit berantakan tapi ia tampak cantik sekal. Bagaimana kalau ia sedang dalam keadaan sehat yah?

"Walaikumsalam." bisiknya pelan.

Aku tersenyum dan berfikir apa sebaiknya yang harus kukatakan padanya.

"Nama kamu siapa?" Tanyanya.

"Annisa." aku menjawab cepat karena refleks membuat tante cantik di depanku sedikit kaget sebelum tertawa pelan. Duhh..

Aku berdehem, "Nama saya Annisa."

Ia tersenyum. Pandangannya penuh dengan sosok keibuan.

"Tante namanya siapa?" Tanyaku.

"Kirana."

Aku tersenyum lebar. Namanya cantik seperti orangnya hihi.

"Tante ruangannya yang kemarin itukan? Aku anterin kekamar yah?"

Ia mengangguk. Aku berdiri dan mendorong kursinya menuju kamar rawatnya di ruang VIP yang berada tidak terlalu jauh dari ruang rawat Laila.

"Kamu pakai hijab lebar gak kepanasan gitu?" Tanyanya saat kami dalam perjalanan ke ruangannya.

Aku menunduk menatapnya sebentar lalu kembali menatap lurus ke depan dengan senyum tipis. "Panas? Apa bedanya sama yang gak pake hijab? Kan yang berhijab sama yang gak berhijab sama sama berkeringat juga? Jadi menurutku pake atau gak itu sama ajah."

"Kamu gak ribet pake hijabnya?" Tanyanya lagi.

"Gak kok. Lebih ribet lagi kalau yang gak pake hijab. Rambutnya rontok, berantakan, bercabang, kusam kalau terlalu lama di bawah sinar matahari. Sedangkan yang pake hijab rambutnya kan terlindungi lagipula hijabkan wajib, ini bukan hal yang bisa dikatakan merepotkan." jelasku dalam satu tarikan nafas.

"Bagaimana kalau kamu justru gak dapet jodoh karena hijabmu?"  Ia mendongak sedikut menatapku. Aku tersenyum. Ah pertanyaan ini lagi.

"Alhamdulillah karena akhirnya aku tau siapa orang-orang yang dapat menerimaku dalam ketaatan bukan karena kesesatan karena berani melawan perintah-Nya."

Annisa Humaira (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang