Part 17

42K 2.3K 17
                                    

Revisi : 4 Mei 2017

Bila karena mencintai-Nya aku harus melepas dia.

Bila karena setia pada-Nya aku harus melepas setiap cinta. Kan kulakukan.

Biarkan saja hatiku kosong pada selain-Nya.

Biarkan saja hatiku dipenuhi akan cinta-Nya.

Agar nantinya tak ada penyesalan dalam hatiku.

Aku mungkin akan melukai banyak hati.

Hanya kata maaf yang mampu kuucap.
Maaf ...

Pabila jodoh kita akan dipertemukan dan jika tidak kita akan di pertemukan pada yang lebih baik.

Insyaa Allah.

Tolong maafkan aku.

.......

Aku tersentak saat ia datang menemuiku. Aku yang sedang merenung sendiri di saung yang biasa ku tempati bersantai bersama Laila. Aku takut dan khawatir pada diriku. Aku akan mengatakan jawabanku iyakan?

"Maaf semalam aku gak ngangkat telefonmu. Ponselku ketinggalan saat aku sedang ada pertemuan dengan klien." ia tersenyum dan itu semakin memperburuk suasana hatiku.

Aku meremas-remas ujung kerudungku. Sanggupkah aku melenyapkan senyumannya?

"Kamu gak biasanya nelfon aku, aku senang kamu yang nelfon aku duluan."

Rasa senangnya itu hanya sesaat apalagi saat nanti ia tau kalau aku tak akan lagi mau bertemu dengannya, mendengar suaranya.

Kalau aku ingin memutuskan segala ikatan yang terjalin dengannya.

"Emm kita bicara di rumahku saja boleh?"

Farhan mengangguk. Ia pun naik ke mobilnya dan aku berjalan ke rumahku.

Tak apa kan ini?

Kuharap ia temukan yang lebih baik dari pada aku ini bukan cuma pilihan awal jumpa sepertiku tanpa mengenalku lebih jauh, tanpa tau apapun tentang diriku juga aku tak banyak tau tentang dirinya.

Lalu kenapa justru perasaanku kini yang tak karuan? Mengapa aku sendiri yang kebingungan? Mengapa aku begitu plin-plan? Apa yang harus kukatakan nanti padanya?
Apa harus kukatakan, "Farhan, maaf aku tidak bisa menerimamu."

Tapi  jika ia menanyakan "mengapa?" Alasan apa yang harus kuberikan?

Haruskah aku jujur bahwa aku tak mau bersamanya karena tak mau dipandang murahan dengan aku yang tetap menahannya denganku tanpa dapat mencintainya?

Haruskah? Haruskah seperti itu? Kepalaku terasa pening.

Bahkan sampai ia duduk berhadapan denganku pun di teras rumah aku masih tak tau mau bicara apa.

Ia tersenyum, mata kelabunya tampak berbinar, rambutnya tersisir rapi ke belakang dengan kemeja berdasi yang dibalut jas formal.

"Ehem." aku berdehen. Sedikit membasahi kerongkonganku yang terasa kering mencekat.

"Maaf." ujar ku pelan. Sedari tadi kedua tanganku sibuk meremas ujung kerudungku.

Farhan mengangkat salah satu alisnya menungguku.

"Aku.. aku gak bisa nerima kamu."

Farhan mematung di tempat. Aku tau ini mengejutkan tapi aku harus berbicara lagi. Tak peduli apapun rasa sakit yang kutimbulkan untuknya, "Sungguh maaf. Aku tau kamu bisa dapat pengganti yang lebih baik dariku, 1000 kali lebih baik." aku tertunduk.

Annisa Humaira (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang