Part 14

46K 2.4K 7
                                    

Revisi : 23 April 2017

Bukkk.. Astagfirullah. Aku menabrak seseorang.

Laila mematung di tempatnya melihat ke belakangku. Aku yang kebingungan berbalik dan terbelalak.

"Kak Adnan." gumamku masih terkaget.

"M.. maaf kak." aku tergagap dan menundukkan kepalaku padanya. Jantungku berdentuman.

Ia tersenyum sekilas dan menggumamkan tidak apa-apa.

"Kenapa kakak ada disini?" Tanya Laila mengalihkan perhatian.

"Oh itu, aku mau mencari tau informasi kapan penerimaan siswa baru" kak Adnan menggaruk belakang kepalanya.

Tapi ada yang kurasa aneh padanya..

Laila mengernyitkan alisnya, "Tapi kak Adnan kan gak punya adik. Lantas siapa yang mau jadi siswa baru? Gak mungkin kakak kan?" Sikap introgasi Laila muncul lagi.

Kak Adnan tertawa pelan, "Bukan aku memang." Kak Adnan terlihat salah tingkah. "Emm tapi yang mau masuk itu adiknya Maya"

Degg.. aku tercekat.

Maya? Kak Adnan kemari untuk membantu adiknya Kak Maya? Kak Adnan salah tingkah hanya karena berhubungan dengan kak Maya? Kenapa hatiku sakit? Kenapa jantungku rasanya berdarah?

Tanpa kak Adnan sadari Laila memegang tanganku menguatkan. Ah Laila menyadarinya, menyadari kerapuhanku.

"Kakak baik sekali mau bantuin kak Maya." suara Laila terdengar ceria.

Kak Adnan tertawa pelan.

Aku meliriknya sebentar dengan suasana hatiku yang kebas dan saat menatapnya kali ini aku tau dimana letak perbedaannya.

Ia tak menatapku sedikitpun. Sebenci itukah?

"Hehe gak juga kog La. Aku cuma ngikutin kata orang tua ajah."

"Oh gitu yah. Yaudah kak, kami pamit. Assalamualaikum." Laila menarikku pergi sesegera mungkin bahkan terkesan menyeretku.

"Walaikumsalam" jawab kak Adnan.

Saat aku berbalik barulah kedua bola matanya menatapku datar, tanpa ekspresi. Tak ada senyum disana. Senyuman yang selalu aku rindukan.

Semiris ini? Kenapa sesak sekali?

Aku.. terluka lagi. Kak Adnan inikah yang kudapat setelah kukatakan melepasmu? Sepahit ini?

"Nis.. kamu gak apa-apakan?" Laila memegang kedua bahuku menatap tepat di mataku dengan wajah khawatirnya setelah kami pergi menjauhi kak Adnan.

Aku tersenyum pahit, "Gak apa-apa"

"Nis, berhenti deh pura-pura tegar."

Aku membisu. Lebih mengalihkan perhatianku ke arah lain tak bisa menatap mata Laila atau hancurlah sudah pertahananku.

"Annisa! Lihat aku!" Suara Laila naik setengah oktaf. Ia pasti sebal akan sikapku sekarang tapi sungguh aku tak bisa mengatakan apapun. Tidak sekarang. Aku bahkan tak sanggup mengatakan apa-apa lagi.

Aku tetap masih tak menatap matanya, kedua tanganku mencengkram erat bagian bawah kerudungku.

"Annisa.. aku tau kamu sakit hati. Kenapa kamu tutupin di depan aku? Seolah kamu makhluk paling tegar, paling kuat. Aku tau kamu itu lemah makanya kamu butuh aku." Suara marah Laila membuatku berbalik menatapnya. Dadanya naik turun menandakan ia emosi atas sikap cuekku tadi tapi sungguh kata-katanya sekarang melukaiku. Argh cukup sudah!

Annisa Humaira (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang