Revisi : 15 Mei 2017
Aku terpaku tak bergerak dalam fana.
Terus mengunci diri pada sosok yang terpatri di jiwa.
Berharap pada sosok yang mungkin tidak pernah ada.Ketika ada hati menyapa,
Aku menutup mata
Masih terus berharap pada rasa hampa.
Yang mungkin dari awal memang tiada berguna.
Hanya berharap pada sosok yang mungkin tidak pernah ada......
Aku membalik dudukku di atas sofa ruang tamu ke samping kiri dengan tangan memegang sebuah buku tebal, dahiku mengernyit sebal.
Aku mencoba konsentrasi pada apa yang ku pelajari dari buku di tanganku tapi demi Allah, bagaimana bisa aku konsentrasi saat Adrian terus saja menatapku dengan serius membuat konsentrasiku buyar.
"Bisakah kamu berhenti menatapku?" Aku menutup bukuku dan berbalik menatap Adrian kesal.
Matanya memicing, "Aku sebal padamu. Sangat sebal." ia melipat kedua tangan di dada, bergaya bos. Huh.
"Masih gara-gara yang di rumah sakit tadi? Kamu sudah mendengarnya sendiri darinya bukan? Jadi apa yang membuatmu kesal?" tanyaku dengan dahi berkerut. Ia diam membisu bahkan aku lihat ia semakin terlihat kesal, bahkan mendelik. Apa sih maunya?
Aku menghela nafas. "Apa yang membuat adikku ini kesal hm?" Tanya ku dengan senyuman. Biasanya cara ini berhasil.
"Aku kesal bisa-bisanya kamu punya calon suami tanpa meminta pendapatku lebih dulu." ia membuang muka ke samping dengan bibir yang mengerucut.
Aku melongo di tempat berusaha menahan gejolak rasa geli yang sudah berkumpul di kerongkongan.
Ia menatapku galak, "Yah sudah tertawa saja sana."
Aku terkikik. Aku memiringkan sedikit kepalaku menatapnya dengan senyum, "Kamu gak suka dia yah?"
Ia membuang muka.
Aku menghela nafas. "Kakak gak paksa kamu kok untuk terima dia untuk kakak tapi kakak cuma minta sedikit sedikit kamu melihat dia dengan lebih positif saja yah."
Aku berdiri dari sofa dan membereskan buku-bukuku di atas meja.
Saat sudah sampai di depan kamar aku mendengar suara Adrian lagi. "Aku akan memcobanya tapi kalau aku sampai tau dia nyakitin kamu, kakak harus janji akan tepatin satu permintaanku."
Aku berbalik dan menatapnya, mencari kebenaran dari mata seorang anak yang baru saja beranjak remaja. Aku hanya mengangguk pelan sebelum masuk ke kamarku dan menutup pintunya dari dalam.
Aku membuka jendela kamarku membiarkan angin dingin malam berhembus menerpa wajah dan kerudungku. Aku memejamkan mata.
Seiring dengan itu aku kembali memikirkannya.
Farhan..
kak Adnan..
Perasaanku.
Aku menatap langit malam ini, banyak bintang dan rembulan yang bertaburan di hamparan kelam malan. Perasaanku, yang untukku pun sulit untuk tau pastinya. Keragu-raguan masih menggenggam hatiku.
Kak Adnan, apakah rasa itu telah lenyap padamu? Pudar tersapu ombak?
Farhan, apakah rasa itu benar ada untukmu? Apakah kau telah berhasil melumpuhkan benteng kuat yang ku bangun untuk si dia?
Aku menghela nafas. Bukankah walau pun rasa itu masih ada aku telah membiarkan kak Adnan pergi menggapai kebahagiaannya tanpa aku?
Untuk melepaskan kak Adnan yang kini milik kak Maya aku juga harus ikhlas dan mencoba untuk menikmati hidup membuka lembar baru yang insyaa Allah aku pun akan mendapatkan cinta yang dijanjikan Allah, cinta suci yang abadi untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Annisa Humaira (Telah Terbit)
عاطفيةAku ikhlas akan cinta yang tak tercapai Aku bersabar akan cobaan hati yang datang padaku Ini mungkin salahku karena terlalu tenggelam dalam cinta Ampunilah aku, ya Allah Kuserahkan hidup dan matiku padamu Kau sang penguasa takdir, jodooh dan rezeki ...