Part 12

44.4K 2.6K 8
                                    

Revisi : 23 April 2017

Samar samar dihatiku.
Terasa kelabu.
Buram nan sendu.
Sampai tak ku tau rasa dalam kalbu.

Ingin mengenal.
Namun takut gagal.
Lalu kemudian mengulang kembali ke awal.
Namun setiap berdoa tak berhenti kurapal.
Pinta hati dipertemukan dengan seorang yang beramal.

......

Kikuk.

Aku merasakan rasanya berhadapan dengan calon ayah mertua eh belum, lamarannya kan belum kuterima.

Tetap saja rasanya aku gugup sekali. Bagaimana kalau aku salah bicara?

"Nis."

Aku berbalik menatap pak Adam yang memanggilku. Ia duduk tepat di depanku diruang tamu rumahnya.

Bagaimana aku tau namanya? Itu karena sewaktu di mobil Farhan sudah memberitahukan padaku bahwa papanya bernama Adam dan papanya ini merupakan mualaf beberapa tahun sebelum menikah.

Wajahnya itu mirip dengan Farhan tapi lebih sedikit dewasa dengan sedikit keriput tapi tak menghalangi sedikitpun kewibawaan yang dipancarkannya. Orang ini benar-benar memiliki aura penguasa sama seperti Farhan waktu pertama ia datang kerumah.

"Iya." aku menjawab pelan. Aku meremas ujung hijabku. Tanganku berkeringat.

"Kamu sekolah atau kuliah?" Tanya ayahnya Farhan.

"S.. sekolah pak eh om." aku semakin tak karuan. Aku melirik Kania yang terkikik geli yang duduk di pangkuan Farhan menatapku. Apa mereka sedang menjadikanku bahan ejekan? Aku menundukkan kepalaku.

Pak Adam juga tertawa kecil melihat kegugupanku, "Panggil papa ajah Nis. Gak usah gugup gitu saya gak makan orang kok."

Aku mendongakkan kepalaku menatap bingung. Ehh.. papa? Duh.. kok kayaknya jadi aneh ke aku yah.

"Pa.. pa."

Pak Adam tersenyum lebar begitu pula dengan Farhan yang tersenyum melihatku. Ia tampak senang.

Pipiku memanas saat aku lagi-lagi harus mengakui keindahan senyumnya. Manis. Ya Allah..

"Kakak pipinya merah. Bagus deh." kata Kania. Aku meliriknya sebentar kurasa pipiku semakin memanas.

"Udah kelas berapa Nis?"

"Annisa udah hampir lulus pa. Beberapa hari lagi Annisa bakal menghadapi UN." Farhan menjelaskan dan om Ad eh papa hanya mengangguk.

Kayaknya membutuhkan waktu sampai aku terbiasa memanggil 'papa'

"Nanti kalau kamu jadi sama Farhan kamu gak usah kuliah. Kan keuangan kamu biar Farhan semua yang tanggung."

Hatiku tiba-tiba terasa mati.

"Maaf?" Secara spontan aku mendongak.

Apa-apaan ini.

Aku mau kuliah. Aku mau sekolah. Aku tidak mau jika harus menghentikan sekolah hanya karena pernikahan. Aku semakin mencengkram erat ujung kerudungku yang sudah kusut

"Annisa, Kuliah itu kalau kamu kerja, tapi kalau abis ini kamu nikah kamu gak punya waktu untuk kerja jadi untuk apa kuliah ya kan?" Papa menatapku meminta pendapat.

Aku menggeleng keras melirik sekilas kearah Farhan yang tampak tenang. Kendati memang aku sempat memiliki keinginan untuk tidak kuliah tapi setelah melihat bagaimana raut bahagia ibu dan bagaimana semua usahaku, aku tak bisa membuang begitu saja semua mimpi dan cita-citaku. Tidak! Aku tak mau!

Jantungku berdegup kencang. "Saya mau kuliah." Kataku tegas. Ada jejak senyuman di wajah papa menatapku.

"Annisa Annisa." papa menggeleng pelan.

Annisa Humaira (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang