Patah Hati

15.9K 584 6
                                    

" Rei, aku dijodohin sama papa " Naira membuka obrolan mereka malam ini di sebuah cafe sambil memegang gelas coffenya dengan kuat tanpa mau memandang ke orang di depannya.

" Aku harus gimana Rei? " Tanya Naira yang akhirnya menatap lelaki didepannya.

Lelaki didepan Naira balas menatap Naira dengan tatapan lembut. Cahaya yang memantul dari belakangnya membuat dia terlihat berkilau.

" Kamu terima saja perjodohan itu Nai. Aku tidak punya hak untuk kasih pendapat apapun . " Jawab Reiza tenang. Ya nama lelaki itu Reiza Ismail Gulam.

" Barusan kamu kasih pendapat untuk aku terima perjodohan itu. Apa itu bukan pendapat? "

" Aku ga punyak hak untuk kasih pendapat kamu agar menolak perjodohan itu. Aku bukan siapa-siapa kamu Nai dan kamu bukan siapa-siapa aku. " Rei mengungkapkannya dengan sangat tenang dan lancar. Naira sampai melebarkan matanya karena syok mendengar ucapan Rei barusan.

Naira masih mencerna ucapan Rei. Apa tadi dia bilang? Aku bukan siapa-siapa kamu Nai dan kamu bukan siapa-siapa aku. What the? Naira menatap tajam kearah Rei.

" Aku tau Rei kita ngga ada hubungan apapun. Kita tidak pacaran, kita hanya tidak sengaja dekat. Aku bilang ini ke kamu berharap kamu mau maju Rei. Kamu ngga mau perjuangin aku? Kamu rela aku nikah sama yang lain? " Naira sekarang menatap dengan mata penuh harapan. Naira melihat Rei tersenyum, namun tunggu senyumannya terlihat sendu.

" Aku hanya lelaki PHP Nai, aku bilang aku mau datang ke rumahmu kapan aja tapi sampai saat ini aku belum berani kesana. Aku kasih kamu harapan yang aku patahkan sendiri. Aku kasih perhatian yang bikin kamu tergantung sama aku. Aku tau hubungan ini salah namun aku terus mendorong kamu agar kamu tidak menjauh. Aku ga bisa perjuangin kamu Nai. Aku ngga bisa datang kerumah kamu untuk minta izin ke papamu menikahi anaknya. Aku mundur Nai bahkan sebelum aku maju. "

***

Naira sudah menangis semalaman. Matanya bengkak bahkan sampai susah untuk dibuka dan merah menyeramkan. Wajahnya berantakkan, jilbabnya sudah kotor dan basah karena air mata. Sejak pulang dari cafe, Naira langsung solat dan menangis sepanjang malam tanpa mau keluar kamar.

Aku tak paham riwayat sakit hati.
Apa obatnya dan bagaimana diagnosanya.
Namun aku paham efek yang dihasilkannya.
Patah hati membuat patah harapan bahkan juga kaki dan tanganku.

Aku enggan untuk berjalan.
Berjalan ke tempat yang penuh hal baru.
Aku enggan untuk meraih.
Meraih dengan tanganku kisah baru yang mungkin lebih baik.

Naira hanya butuh 1 malam untuk menangisi semuanya, mengutuki kebodohannya, memaki orang yang membuatnya seperti ini dan merutuki dirinya sekarang.

Orang yang berjiwa besar memiliki dua hati : satu hati yang menangis dan satu lagi hati yang bersabar _ anonim_

Naira membiarkan dirinya menangis, memaki, mengutuki semuanya tapi, setelah itu Naira menjadi lebih kuat dengan bersabar. Bersabar bukan dengan berdiam diri melainkan menjadi Naira dengan kualitas diri yang lebih baik lagi.

Ya Naira berbeda dengan yang lain. Ketika terbangun di pagi hari semangat Naira sudah ter-charge sempurna. Naira tersenyum lembut memandang cahaya yang masuk dari jendela kamarnya. Naira sudah tidak sedih atau marah lagi. Naira mungkin tidak bisa melupakan sakit hatinya dan perasaan tulusnya namun Naira dengan mudah memafkan semuanya. Naira harus melanjutkan kisahnya mungkin dengan orang lain tapi tidak dulu dengan perasaannya. Belum saaatnya untuk melabuhkan cinta, terlebih untuk seseorang yang belum halal. Sudah tidak halal bikin sakit hati lagi.

Patah hati berulang kali. Mengobatinyapun berkali - kali. Menutup sumber segala kesakitan hati .
Menutup segala celah agar cinta yang belum halal tidak dapat merasuki.

***

Hari ini Naira harus pergi ke rumah tantenya di Jakarta. Jarak antara Bogor - Jakarta tidak jauh sehingga Naira sekeluarga tiba disana sebelum makan siang. Agenda pertemuannya adalah perkenalan antara Naira dengan calon jodohnya.

Hanya perkenalan, makanya Naira bersikap cuek dan tidak peduli. Naira memilih diam selama di ruang keluarga hingga keluarga calon jodohnya tiba.

"Asalamualaikum " Ucap salam dari lelaki tua. Naira rasa itu pasti ayah calon jodohnya.

" Waalaikumsalam " Jawab serempak yang ada di dalam ruang keluarga. Mereka tampak akrab satu sama lain dan saling berjabat tangan.

" Perkenalannya bisa dilanjutkan sambil duduk dulu, silahkan duduk, ayo anggap seperti keluarga sendiri. " Jelas paman Naira. Semua tanpa terkecuali langsung duduk. " Sambil nunggu minuman datang kita bisa lanjutkan mengobrolnya ya. " Lanjut paman Naira.

Ruang keluarga tante Naira cukup luas dan adem karena langsung berhadapan dengan taman yang cukup asri di depannya.

Dalam ruang keluarga ini terdapat dua sofa besar yang bisa menampung 3-4 orang dewasa duduk. Sofa besar ini hanya di pisahkan oleh meja yang cukup panjang hampir sepanjang sofa. Meja dengan akuarium di bawahnya membuat kesan mewah. Di sisi kanan dan kiri meja akuarium ada sofa kecil yang cukup untuk 1 orang dewasa.

Naira duduk di sofa besar yang menghadap langsung kearah taman di luar rumah. Naira diapit oleh kedua orang tuanya. Sedangkan keluarga calon jodohnya duduk di sofa depan Naira. Ada dua anak laki-laki. Yang satu umurnya berkisar 18 tahun. Yang lebih dewasa terlihat berumur 28 tahun. Tante Naira duduk di sofa bersama anak laki-laki yang lebih muda, laki-laki yang seperti ayahnya berumur kira-kira 50 tahun dan seorang wanita paruh baya yang Naira taksir berumur 45 tahun. Laki-laki yang Naira anggap sebagai calon jodohnya duduk sendiri di sofa di sebelah kanan meja akuarium, dia berhadapan langsung dengan paman Naira.

Perjodohan ini tante dan paman Naira yang merencanakan. Mereka berdua melihat kecocokan antar kedua keluarga. Sama-sama berasal dari kampung yang sama, dari suku yang sama.

" Kenalkan ini keluarga besar pak Wahab. " Jelas paman Naira kepada keluarga Naira. " Istrinya bernama Lina, nah kalo anak disebelahnya bernama Gilbran, sedangkan yang di depan saya bernama Galih. " Mereka semua tersenyum kecuali lelaki bernama Galih. Galih tampak kaku dan datar.

Naira mengamati keluarga didepannya. Naira yakin yang bernama Galih adalah calon jodohnya bukan Gilbran. Naira berpikir mana mungkin dirinya dijodohkan dengan brondong.

" Nah kalo gadis yang berjilbab itu namanya Naira. " Kata pama Naira sambil memandang Naira. Naira tersenyum lalu menunduk. " Itu adik saya Ghani dan istrinya Kia. " Lanjut paman Naira mengenakan orang tua Naira.

Selanjutnya para orang tua sibuk mengobrol tentang masa lalu mereka di kampung. Terkadang mereka mengobrol dengan bahasa daerah. Anak-anak muda seperti Naira, Gilbran dan Galih tampak bosan. Mereka bertiga tidak bersemangat mengikuti pembicaran orang tua. Lebih tepatnya mereka tidak paham bahasa daerah.

E.Y.ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang