Perasaan Naira

7.4K 382 1
                                    

Di ruangan dingin itu tiada siapapun bersamanya. Dalam balutan mukena berwarna putih Naira khusu menunaikan solat malam. Galih, suaminya juga sedang solat di mushola rumah sakit.

Naira solat dalam keadaan berbaring. Dalam keadaan seperti itu tidak ada alasan bagi Naira untuk meninggalkan solat. Disaat sulit inilah Naira sangat butuh untuk lebih dekat kepada Allah.

Tidak ada yang membasahi wajah putihnya. Tidak ada bulir air mata yang turun. Namun Naira terisak dalam doa panjangnya. Air matanya membasahi perban penutup matanya. Badannya bergetar, mulutnya penuh dengan doa.

Naira memasrahkan dirinya kepada Allah. Ia memohon ampun kepada Allah atas semua dosa dan kesalahannya. Ia juga belajar menerima kondisi yang terjadi pada dirinya.

Tak lama kemudian Galih masuk ke dalam kamar perawatan. Ia mendapati istrinya menangis terisak. Ia terpaku di sudut pintu tak ingin mengganggu doa istrinya. Galih mendengarkan setiap doa dan isakan istrinya.

Hati Galih mencelos, sedih melihat kondisi Naira. Ia tak bisa bayangkan apa yang akan Naira lakukan jika mengetahui kondisi sebenarnya. Galih perlahan maju mendekat ke ranjang Naira. Naira telah selesai solat dan berdoa.

" Hai sayang. Gimana perasaanmu?" Tanya Galih seraya menggenggam tangan Naira.

" Antara sedih, takut, marah dan bahagia "

" Kamu bisa ceritakan apa saja alasan dari perasaan itu?"

" Aku sedih karena membuat kamu dan keluarga yang lain sedih. Aku takut suatu hal bang..." Ucap Naira dengan nada bergetar.

Galih menguatkan genggamannya. Galih merasa sepertinya Naira mempunyai firasat tentang keadaannya.

" Kamu tidak usah merasa sedih Nai. Kita semua sayang sama kamu. Lalu apa yang kamu takutkan?"

" Aku...takut ketika perban ini dibuka...hasilnya tetap seperti ini. Gelap." Kata Naira yang sudah menangis.

Galih langsung berdiri kemudian memeluk Naira lembut tanpa menyakiti bagian tubuh yang masih sakit. Galih mengusap puncak kepala Naira. Galih berusaha agar dirinya sendiri tidak menangis. Benar, Naira punya firasat tentang matanya.

" Sayang, banyak hal yang kita takutkan di dunia ini apalagi untuk hal yang belum pernah kita alami. Percayalah semuanya akan baik-baik saja. Aku ada disini bersama kamu. Kamu tidak perlu takut akan hal yang belum pasti. " Ucap Galih lalu kembali duduk disamping Naira.

" Iya aku paham, aku takut...jujur aku takut bang..."

" Lalu apa yang membuat kamu marah dan bahagia?" Tanya Galih mengalihkan ketakutan Naira.

" Marah sama si penabrak. Hingga saat ini aku ga tau siapa yang nabrak aku bang. Aku hanya ingin permintaan maaf dari dia, ga lebih. "

" Penabrak kamu ada di kantor polisi. Dia hampir di hajar masa tapi untung segera di bawa ke kantor polisi."

" Kamu udah ketenu si penabrak itu?"

" Belum. Aku kan disini terus jagain kamu."

Ada segaris senyum tipis di wajah Naira ketika Galih mengatakan itu. Naira senang karena suaminya menemani dirinya saat ini.

" Kamu senyum Nai? Tanya Galih yang menangkap senyum manis di wajah Naira.

" Ah..ngga bang. A...aku cuma menggerakan pipiku yang kaku. " Naira mendadak menjadi grogi.

" Sini aku bantuin usap pipi kamu biar ga kaku lagi. " Kata Galih yang kemudian mengusap lembut pipi Naira. Galih tersenyum menahan tawa melihat pipi Naira yang memerah. Galih segaja mengerjai Naira. Sudah lama Galih rindu suasana ini.

Naira lalu memegang tangan Galih, membuat aktifitas Galih terhenti.

" Udah bang, pipi aku udah ga kaku lagi. Kayaknya malah jadi merah ya?" Ujar Naira malu-malu.

" Pipi kamu merah kaya gini jadi pengen aku cium deh. "

" Bang. Aku mw ceritain alasan kenapa aku bahagia. " Ucap Naira dengan cepat mengalihkan perhatian Galih.

Cup
Galih mencium pipi Naira cukup lama.

" Oke..sekarang kamu bisa cerita lagi. " Galih menahan tawanya.

" Kamu masih suka iseng ya. Haha...kenapa aku bahagia? Karena aku mempunyai suami seperti kamu bang. Aku bahagia karena kamu masih ada disini. "

" Aku juga bahagia punya kamu sebagai istriku. Oia apa yang mau kamu ceritain ke aku waktu kita janjian di cafe?" Galih tiba-tiba teringat hal itu.

" Aku ga bisa cerita sekarang bang. Tunggu ketika aku keluar dari sini ya."

" Baiklah. Aku akan menunggunya."

***

Di dalam sebuah ruangan gelap dan dingin  terdapat seorang lelaki tinggi dengan bahu kokoh, mata tajam berkacamata, hidung mancung serta berperawakan angkuh. Dia berdiri sambil bersandar ke tembok dingin dengan melipat tangan di depan dada. Dia berpikir atas kejadian yang baru saja menimpa dirinya.

" Pak, mohon maaf saya belum bisa membuat bapak keluar. Kasus ini kecelakaan parah. " Ucap lelaki tua yang terlihat ketakutan dari luar jeruji besi kepada lelaki yang sedang bersandar.

" Kamu, mau saya pecat? Kamu tinggal bayar uang jaminan kan?"

" Maaf pak, saya pantas dipecat. Hanya ada satu jalan. Korban atau pelapor harus mencabut laporannya pak. Kasus ini tidak bisa menggunakan uang jaminan."

Rahang lelaki itu mengeras. Tangannya mengelus pelipisnya yang terbalut perban.

" Cari tau tentang korban itu, buat dia mencabut laporannya. "

" Ba...baik pak. " Jawab lelaki tua itu dengan sigap.

Lelaki itu adalah si penabrak Naira. Ia bernama Fasha Swandira. Kecelakaan itu membuat lelaki itu harus masuk kedalam jeruji besi. Untung saja ia hanya masuk jeruji besi bukannya liang kubur jika dirinya tidak segera dipisahkan dari amukkan masa.

Dira adalah manager salah satu perusahaan makanan di Jakarta. Dirinya sedang berlibur ke Bogor bersama teman-temannya. Kejadian kemarin akibat dirinya yang mabuk habis berpesta di club.

Dira tidak dapat mengendalikan laju mobilnya karena kepalanya sangat sakit sehingga ia menabrak Naira yang berada berlawanan arah saat itu.

Sekarang Dira harus menerima hukumannya berada di dalam penjara tanpa bisa di bebaskan. Hanya jika Naira sebagai korban mau mencabut laporannya maka Dira bisa bebas.

***

Haiiii
Maaf banget maaf banget updatenya lama.
Alasannya karena tanganku sakit, ngilu-ngilu gitu.
Ini aja masih ngetik via HP bukan laptop.
Tapi aku usahakan tetap update cepat.

Tetap vote dan coment ya

Happy reading ^^

E.Y.ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang