=========***=========
Reputasi Zano benar-benar jatuh atau bisa dikatakan telah hancur lebur. Tiap minggu dia harus terus melakukan check-up sekaligus kemoterapy dengan uang tabungannya sendiri. Zano melakukannya tanpa sepengetahuan siapapun. Semua usahanya beberapa minggu ini tidak banyak membawa kemajuan, semua semakin memburuk seakan seseorang mencekik lehernya.
“Bagaimana dengan perkembangan penyakit saya, Dok?” Zano terdengar harap-harap cemas.
Dokter Marcus menunjuk gambar sinar-x kaki Zano, “Sampai detik ini tak ada kemajuan yang berarti. Kanker kamu sekarang menyebar dengan cepat.” Dokter Marcus menghela nafas, “Zano... sekarang kamu hanya punya dua pilihan.”
Zano mengernyit, “Maksud dokter?”
“Operasi amputasi atau kanker di kaki kamu pelan-pelan menggrogoti tubuh kamu sampai kamu meninggal, Zano.” jelasnya lalu bersandar dikursi kerjanya, wajahnya terlihat cemas.
“Aa-apa? amputasi atau saya akan mati pelan-pelan?” pekik Zano.
Sokter Marcus tersenyum sedih, "Maaf Zano, hanya itu yang bisa saya lakukan."
Semua isi percakapan itu selalu saja menghantui pikiran Zano setiap Jam, Menit, Detik. Sekarang dia sedang terduduk sendirian didalam rumah kaca Batavia, tempat favoritnya untuk merenung. Tak lama ada seseorang yang menyadarkan lamunan sedih Zano.
“Astaga, Lo ngapain sendirian disini?" Satria mengernyit bingung namun segera berubah cemas, "Za, lo dicariin sama para pengurus Osis, lo harus ngasih sambutan di acara MOB.” ujar Satria yang sudah sepuluh menit mencari Zano.
“Sorry, Sat. Ayo, kita ke Aula sekarang.”
Setelah menemukan Zano, Satria segera menghubungi Ashya yang sedang mencari Zano juga. Setelah Satria memutuskan hubungan, Ashya yang sedang berada di gedung IPA lantai 2 segera berjalan kembali menuju Aula dan melewati toilet pria.
Tanpa sengaja, dia mendengar perbincangan antara Vano dan Reno yang berada di dalam toilet.
“Van, Lo tahu kan? sekarang udah benar-benar musnah si Zano super fabulous! kita sekarang sudah menjadi duo brilian tanpanya.” ujar Reno terdengar sombong.
Vano mengangguk setuju, “Gue setuju! Semoga aja dia gak ganggu kita lagi. Dia harus benar-benar menghilang dari hadapan kita.” lalu tertawa renyah bersama Reno.
Tanpa pikir panjang, Ashya segera masuk kedalam toilet dengan perasaan emosi. Vano dan Reno terkejut setengah mati dengan kehadiran Ashya yang mendadak.
“Kalian benar-benar keteraluan! Kalian lebih buruk dari Iblis!” bentak Ashya.
Vano meninggi alis sebelah, “Heii, Lo itu cewek, tau diri dikit lah! Kalau kita lagi pipis kan berabe.”
“Bisa-bisa nanti lo ilfeel lagi lihat ukuran kita.” canda Reno dan mereka kembali tertawa.
“DIAM!! kalian emang gak punya hati! bisa-bisanya kalian tega menusuk teman sendiri dari belakang!” Ashya sangat marah, nafasnya memburu.
Reno merapikan rambutnya dengan tangan lalu bersedekap, “Ho, ho, ho… rupanya ada yang belain si Sampah. Ashya, sebaiknya lo urus diri lo sendiri. Kalau lo peduli sama dia, ya itu hak Lo!"
"Tapi, jangan pernah mencampuri urusan kami, karena dia sekarang gak ada bedanya sama kulit pisang yang harus dibuang pada TEM-PAT-NYA!” sambung Vano lalu tertawa dengan Reno.
“Kalian emang manusia brengsek gak berotak!” Ashya semakin geram.
Reno mulai emosi, dia ingin menampar Ashya. Tapi Ramon yang baru saja keluar dari bilik toilet segera menahan tangan Reno yang sedang melayang di udara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Are we still Bestfriends?
Ficção AdolescenteCopyright to @TyanSatria & @Xiezha, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepenge...