Satu

30.8K 2.6K 91
                                    

Ardi menerima cangkir styrofoam bertuliskan "Nad's-Cave", berisi double espresso non sugar pesanannya. Setelah mengucapkan terima kasih pada barista, dia bergeser menghampiri lemari display kue-kue kecil. Seorang gadis yang berjaga di baliknya melempar senyum manis dan menyerahkan piring berisi dua pai susu.

"Tumben baru muncul jam segini?" tanya gadis itu, sementara Ardi menarik kursi bar dan duduk di depannya.

"Ada klien minta ketemu pas jam makan siang. Sebagai kacungnya, cuma bisa nurut." Ardi menggigit pai susunya. Bunyi patahan pastry yang terdengar membuatnya tersenyum lebar. Selain buatan Mamah, Nad's-Cave memiliki pai susu paling enak yang pernah dimakannya.

Nadin, gadis yang duduk di balik rak display, sekaligus owner Nad's-Cave tersenyum kecil melihat ekspresi Ardi saat makan. "Bikin kamu seneng gampang banget, ya? Disodorin pai susu aja udah bahagia banget mukanya."

Ardi menghabiskan pai susu pertama, lalu menyeruput espresso-nya. "Jadi orang yang gampang bahagia itu enak." Dia mulai menggigit pai kedua.

Nadin hanya menanggapi dengan senyum kecil, memilih melanjutkan membaca majalah di depannya.

Ardi menghabiskan pai-nya, sambil mengutak-atik ponsel. Begitu pai-nya habis, dia berdiri. "Thanks, Nad. Aku balik kantor, ya," pamitnya.

"Have a nice day," ucap Nadin.

"You too," balas Ardi.

Jarak antara kantornya dan Nad's-Cave hanya dipisahkan lima bangunan, salah satu alasan Ardi suka menghabiskan jam istirahat siang di sana, selain karena kopi dan pai susu yang enak. Dia hanya perlu berjalan kaki, tidak usah repot mengeluarkan mobil dan bermacet-macet hanya demi segelas espresso.

Altair, sahabatnya, ikut masuk ke ruangan Ardi begitu dia tiba. Dia menanyakan perkembangan kasus yang dipegang Ardi dan membandingkan dengan kasusnya sendiri. Mereka sama-sama pengacara, yang lebih sering mengurusi kasus perceraian daripada kasus lain. Brainstrooming seperti ini sudah menjadi semacam kebiasaan.

Percakapan itu terpotong oleh dering ponsel Ardi. Nama "Shelovian M. Sasmitha" dan foto Ovi memenuhi layar ponselnya.

"Pinter banget lo, nyimpen foto dia yang paling seksi," ledek Altair.

Mengabaikannya, Ardi memilih menjawab telepon itu. "Halo?"

"Halo, Di. Aku udah di Jakarta nih. Tapi lusa harus ke Seoul. Ada kerjaan sebulanan di sana. Kaia hari ini sama aku, ya?" Ovi berkata cepat, tanpa basa-basi.

"Besok hari sekolah," balas Ardi.

"Ya nggak apa-apa. Dia nginep sini, besok aku yang antar dia ke sekolah. Please..." pinta Ovi. "Dua minggu nggak ketemu. Aku kangen."

Ardi menghela napas. Meskipun hak asuh Kaia, putri mereka yang baru akan berusia 5 tahun beberapa bulan lagi, jatuh ke tangannya, Ardi berusaha sebisa mungkin untuk tidak menghalangi pertemuan Ovi dan Kaia. Sudah cukup berat bagi Kaia harus menghadapi perceraian orangtuanya sebelum genap berusia 3 tahun. Dia sangat menyadari Kaia belum bisa 'lepas' sepenuhnya dari Ovi, meskipun sudah tidak pernah bertanya mengapa Mama tidak tinggal bersama mereka lagi, seperti di awal perceraiannya. Tidak akan pernah bisa lepas, lebih tepatnya.

"Ya udah. Nanti malam aku anter ke apartemen kamu."

Ovi berdeham. "Biar aku yang jemput. Kabarin aja kalau kamu udah di rumah nanti."

Meskipun heran, karena biasanya selalu Ardi yang mengantar Kaia setiap akan menginap di tempat Ovi, dia memilih tidak bertanya macam-macam. "Oke. Nanti aku kabarin."

Kiss The Past GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang