Ardi menghampiri konter kue-kue, melihat Ratna yang berjaga sendirian di sana, tanpa Nadin. Terakhir kali ada di situasi ini, dia mendapati Nadin ternyata sedang menjaga jarak karena mengetahui tentang Ovi. Ardi berharap kali ini ada alasan yang lebih masuk akal atas absennya perempuan itu.
“Nadin mana?” tanya Ardi.
Ratna menatapnya beberapa saat, lalu menjawab sambil melayani beberapa pembeli. “Nggak masuk, Mas. Sakit kata Kak Olin.”
“Sakit apa?”
“Terima kasih.” Ratna menyodorkan kue sus dan cheesecake pada pembeli, lalu kembali pada Ardi. “Kurang tahu. Nggak enak badan aja sih Kak Olin bilangnya.”
“Bisa panggilin Olin bentar?” pinta Ardi.
Ratna mendorong pintu dapur di belakangnya, memanggil Olin. Tak lama, Olin muncul dengan tangan tertutup sarung oven. Dia menatap Ratna, yang langsung menunjuk Ardi, sebelum kembali melayani pelanggan.
“Nadin sakit apa?”
“Masuk angin paling. Tadi ngeluh pusing. Ini gue mau ngelarin dapur dulu, terus pulang bentar buat ngecek dia. Gue telepon dari tadi nggak diangkat. Tidur kayaknya dia.”
“Gue aja yang ke rumah lo sekarang,” ucap Ardi.
“Bentar,” tahan Olin. Dia kembali ke dapur, kemudian muncul lagi dengan sebuah kunci. “Nih, kalau dia nggak bisa bukain pintu. Lo langsung masuk aja. Kamar Nadin yang paling depan, pintunya ada gantungan kepala Tweetie.”
Di situasi biasa, Ardi akan bertanya bagaimana bisa gadis berusia 25 tahun masih memiliki gantungan kepala kartun di pintunya. Tetapi, saat ini dia lebih ingin segera melihat keadaan Nadin daripada memikirkan hal tidak penting itu. Setelah mengucapkan terima kasih pada Olin, Ardi bergegas kembali ke kantorrnya untuk mengambil mobil.
“Al, klien gue ntar lo handle dulu, ya,” pinta Ardi tanpa berhenti berjalan menuju ruangannya.
“Lo mau ke mana?”
“Nadin sakit.”
Jawaban itu cukup membuat Altair tidak bertanya lagi. Dia sudah hafal dan tahu persis kelakuan Ardi saat pasangannya sedang dalam kondisi tidak sehat.
Ardi menjalankan mobilnya menuju rumah Nadin, memegang stir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mengutak-atik ponsel. Dia mengirim pesan pada Fitri untuk membawa Kaia ke rumah Mamah, karena kemungkinan dia akan pulang terlambat, tergantung separah apa sakit Nadin menurutnya nanti.
Begitu tiba di rumah mungil itu, Ardi memarkir mobilnya di luar pagar, kemudian turun. Tanpa menekan bel, dia menggunakan kunci yang diberikan Olin untuk membuka pintu rumah.
“Nad?” panggilnya.
Tidak ada sahutan. Ardi meneruskan langkahnya ke pintu pertama yang terlihat, dengan gantungan kepala Tweetie sebagai tanda, lalu mengetuk pelan.
“Nadin?”
Masih tidak ada tanggapan. Ardi mencoba memutar grendel, mendapati pintu itu tidak terkunci. Suasana di dalam kamar itu sedikit gelap. Lampu dipadamkan, jendela ditutup gorden yang cukup tebal. Terlepas dari itu semua, yang menarik perhatian Ardi adalah sesosok tubuh mungil yang meringkuk di balik selimut, tampak tidur, tetapi tidak sepenuhnya lelap. Nadin terlihat gelisah.
Hal pertama yang dilakukan Ardi adalah menyingkap gorden dan membuka jendela, membiarkan udara di kamar mungil itu bersirkulasi. Nadin bergerak pelan saat sinar matahari menyorot masuk, tetapi tidak terbangun. Saat Ardi meraba dahi gadis itu, tangannya seolah terbakar. Panas sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss The Past Goodbye
General FictionSejak bercerai dari istrinya dua tahun lalu, hidup Ardi hanya diisi dengan bekerja dan merawat Kaia, putri sematawayangnya. Dia tidak pernah memikirkan tentang berkencan lagi. Setidaknya, hingga dia bertemu Nadin. Bagi Nadin, Ardi bukan hanya pelang...