Sembilan

18.2K 2.2K 92
                                    

Ardi menjalankan mobilnya memasuki lahan parkir sebuah gedung apartemen mewah di pusat kota. Sebelum mengantar Nadin pulang, Ardi memutuskan menjemput Kaia dulu, supaya nanti tidak bolak-balik. Dari komplek perumahannya menuju rumah kontrakan Nadin melewati gedung apartemen Ovi. Sedangkan kalau mengantar Nadin dulu, dia harus memutar untuk menyebrang ke apartemen Ovi. Jalanan Jakarta selalu sukses membuat jarak sedekat apa pun terasa jauh. Melewatkan belokan saja bisa menjadi bencana ringan.

“Aku tunggu sini aja ya,” ucap Nadin, begitu Ardi memarkir mobilnya.

“Nggak. Malem gini, udah gila aku kalau ninggalin kamu sendirian di tempat parkir.”

“Ya udah, aku tunggu di lobi.”

Bukannya menjawab, Ardi turun lebih dulu, menutup pintunya, lalu berputar ke arah bangku Nadin dan membuka pintu. Dia menggamit tangan Nadin lembut, menariknya keluar. Setelah menutup pintu dan mengunci mobilnya, Ardi menggandeng Nadin menuju lift. Dia menekan tombol Lantai paling atas.

Ovi pindah ke apartemen ini begitu mereka sepakat bercerai. Demi ‘mengecoh’ Kaia, dia memindahkan barangnya sedikit demi sedikit, berhenti tidur di kamar mereka dan memilih tidur bersama Kaia. Mulanya Ovi tidur di apartemen seminggu sekali. Lalu bertambah menjadi dua-tiga kali. Tepat saat palu hakim diketuk, meresmikan perceraian mereka, Ovi sudah tidak pernah lagi tidur di rumah selama dua bulan sebelumnya.

Pintu lift terbuka di Lantai puncak gedung itu. Ardi menggandeng Nadin agar terus mengikutinya. Hanya ada dua penthouse di Lantai itu, yang ditempati Ovi berada di sisi kiri gedung. Ardi menekan bel. Tidak perlu menunggu lama sampai pintu itu dibuka. Ovi muncul, sudah mengenakan jubah tidur dengan rambut dirol. Terlihat sangat domestik. Dia sedikit terkejut melihat Ardi tidak datang sendirian.

“Yuk, masuk dulu.” Ovi melebarkan daun pintu, mempersilakan dua tamunya masuk. “Non tidur, Di.”

Ardi menghela napas. Di balik semua sifat baiknya, ada satu sifat buruk yang juga diambil Kaia dari orangtuanya. Tidak suka diganggu saat tidur. Anak itu akan sangat rewel jika terbangun.

“Terus gimana?”

Ovi menggaruk lehernya. “Aku bisa minta sopirnya Ivan nganter aku besok, Non biar dianter Pak Jaka,” dia menyebut nama sopirnya. “Tapi aku nggak bawa barang-barang sekolah Non. Apa nggak usah sekolah aja besok? Dia ikut aku?”

“Nggak. Jangan dibiasain bolos-bolos gitu. Nanti keterusan.”

“Jadi?”

Ardi menggaruk kepalanya. “Udah lama tidurnya?”

“Barusan. Sepuluh-lima belas menitan, kayaknya. Tadi lagi nonton Powerpuff Girls, aku tinggal mandi bentar, tidur dia.”

Ardi menoleh ke Nadin, yang belum bersuara sama sekali sejak masuk. “Tunggu bentar nggak apa-apa, ya? Sampe Kaia lelap, biar nggak kebangun pas digendong.”

“Dia rewel kalau kebangun.” Ovi menimpali.

Nadin tersenyum kecil, seraya mengangguk. “Nggak apa-apa.”

Mereka lalu duduk di ruang tamu. Ovi menawari minuman, yang ditolak keduanya, tetapi tetap mengambilkan dua gelas jus.

“Boleh pinjem toiletnya?” tanya Nadin.

Ovi menunjukkan letak toilet padanya. Begitu Nadin beranjak dari sana, dia menatap Ardi. “Gitu ya, kamu. Nggak bilang lagi deket sama siapa, tiba-tiba udah jadi aja,” cetusnya pada lelaki itu.

“Kamu juga gitu, kan? Aku tahunya Ivan itu temen lama kamu. Tiba-tiba ngaku pacaran pas ulang tahun Kaia.”

Ovi melipat tangan di depan dada. “Kamu udah kenal sama Ivan sebelumnya. Udah tahu gimana dia. Aku nggak tahu apa-apa tentang pacar kamu. Gimana bisa aku biarin dia interaksi sama Non gitu aja?”

Kiss The Past GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang