Tujuh

19.9K 2.2K 134
                                    

Nadin tidak tahu ke mana Ardi membawanya. Lelaki itu lebih banyak diam sepanjang perjalanan pulang dari rumah orangtuanya. Dia hanya bertanya apakah Nadin ingin pulang sekarang atau belum. Setelah Nadin menjawab belum, dia kembali menyetir dalam diam.

“Dulu aku pernah batesin tiap Ovi mau nemuin Kaia.”

Nadin menoleh.

Ardi masih menatap lurus jalanan padat di depan mereka. “Kayak yang dibilang Gemi, Ovi sendiri yang sebelumnya sering ninggal-ninggalin Kaia. Begitu resmi pisah, sekalian aja aku bikin mereka susah ketemu.” Dia menghela napas. “Kaia bolak-balik nanya mamanya, aku jawab lagi kerja, nggak bisa pulang. Dia nangis terus, jadi susah makan. Itu berhari-hari. Aku coba bujuk pake cara halus, sampe yang agak kasar, aku paksa makan, dimuntahin sama dia. Akhirnya dia sakit.”

Nadin mengamati perubahan ekspresi Ardi, bagaimana cara tangannya menggenggam stir lebih erat.

“Kaia dua hari di rumah sakit, aku baru nurunin ego nelepon mamanya dan ngabarin keadaannya. Ovi ngamuk, kami berantem gede. Dia sampe bilang bakal ngajuin banding supaya hak asuh Kaia pindah ke dia.”

Sejujurnya, Nadin sedikit heran dengan masalah itu. Setahunya, hak asuh untuk anak di bawah umur biasanya jatuh ke tangan sang Ibu. Kecuali jika si ibu terbukti tidak layak menurut hakim, baru hak itu pindah ke tangan ayah. Dia penasaran kesalahan fatal apa yang dibuat Ovi hingga membuat Ardi memenangkan hak asuh atas Kaia. Tetapi dia menahan diri untuk bertanya sekarang. Belum waktunya.

Mobil itu berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah. Ardi menoleh sejenak pada Nadin.

“Makanya sekarang aku nggak pernah lagi batesin pertemuan Kaia sama mamanya. Aku sadar, dia belum ada di masa bisa punya kehidupan lain. Dia punya temen di sekolah, tapi belum bisa hang out. Jadi kasarnya, dia cuma punya aku sama mamanya. Aku nggak bisa ngerampas itu.”

Nadin ingin berkata kalau dia yakin ucapan Gemi tidak bermaksud menyinggung Ardi sampai membuat lelaki itu harus memberi penjelasan seperti ini. Tetapi, dia memilih tetap diam, hanya mengelus pelan lengan Ardi. Dia sangat mengerti perasaan ingin mengatakan sesuatu tanpa mengharap tanggapan. Hanya ingin mengeluarkan ganjalan, demi melegakan hati.

Ardi kembali diam, merasa sudah cukup menuangkan ganjalan hatinya. Lampu lalu lintas juga sudah berubah hijau. Nadin masih belum tahu ke mana Ardi akan membawanya. Kemudian mobil itu berbelok memasuki gerbang komplek perumahan cluster. Ardi menurunkan jendela di sampingnya untuk menyapa satpam yang berjaga.

“Kita ke … rumah kamu?” tebak Nadin.

“Iya. Kamu belum pengin pulang, kan? Aku mendadak males ke mana-mana. Nanti pulangnya sekalian aku jemput Kaia. Apartemen Ovi searah sama rumah kamu. Is it ok?”

Sure.”

Ardi tersenyum. Mobil itu berhenti di depan rumah bernomor 14A. Ardi memasukkan mobilnya ke carport, lalu mematikan mesin.

Nadin mengikuti Ardi turun, memasuki rumah. Hal pertama yang ditangkapnya begitu berada di ruang tamu adalah sebuah foto keluarga. Ibu dan ayah Ardi duduk di depan. Kaia berada di pangkuan ayah Ardi. Di bagian belakang berdiri Gemi, Ardi, dan Ovi. Para wanita mengenakan kebaya berwarna salem, termasuk Kaia yang mengenakan gaun mungil dari bahan brokat yang serasi dengan ibu, tante, dan neneknya, sementara Ardi dan papanya memakai beskap Sunda berwarna senada.

“Itu Kaia berapa tahun?” Nadin menunjuk foto itu.

Ardi meletakkan kunci mobil di buffet. “Setahun. Papah punya kebiasaan bikin foto keluarga setiap kali ada anggota baru, atau anggota lama udah berubah.”

Kiss The Past GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang