Nadin membuka mata perlahan dan mendapati sosok Ardi tengah tertidur dengan posisi yang jauh dari kata nyaman. Punggungnya bersandar di kursi di samping kasur, sementara kedua tangan terlipat di depan dada dan kepala terkulai menunduk. Nadin berani jamin saat bangun nanti Ardi akan merasakan lehernya sakit. Dia tidak tahu pukul berapa lelaki itu datang. Seingatnya, saat dia terbangun pukul dua pagi, hanya Olin yang menemani. Tetapi, sekarang malah sosok sahabatnya itu tidak terlihat di mana pun.
“Di ...” panggil Nadin, pelan, berniat membangunkan Ardi. Dia mengulurkan tangan, mengusap lengan Ardi.
Ardi bergerak sebentar, mengerjap, lalu perlahan membuka mata. Dia meringis, mengusap bagian belakang lehernya, seraya mengamati sekitar. Kemudian matanya terpaku pada Nadin. “Kenapa? Butuh sesuatu?”
Nadin menggeleng. “Kamu nggak kerja?”
“Ini, kan, Sabtu.”
Nadin mengangguk paham. “Sendirian? Olin mana?”
“Aku suruh pulang buat istirahat. Habis makan siang dia baru ke sini. Aku juga udah telepon orangtua kamu subuh tadi, mereka berangkat pagi ini, langsung ke rumah sakit.”
“Kamu dateng jam berapa ke sini?”
“Balik ke sini maksud kamu? Sekitar jam tiga. Tadinya cuma niat pulang bentar buat lihat Kaia sama ambil baju. Pas aku ke rumah Mamah. Kaia kebangun. Agak rewel gitu dia pas lihat aku, jadi nemenin dulu sampai tidur, baru ke sini.”
Nadin memejamkan mata saat merasakan tangan Ardi mengelus rambutnya. Rasanya nyaman sekali. “Leher kamu juga pasti sakit,” gumamnya, tanpa membuka mata.
“Nggak juga. Yang penting kamu sehat.”
Setelah itu, hening. Nadin masih merasakan kepalanya sedikit sakit, jadi membiarkan saja Ardi terus mengusapnya. Seperti sentuhan ninabobo, yang membuatnya ingin kembali terlelap.
Nadin benar-benar terbangun saat dokter melakukan kunjungan pemeriksaan. Kondisinya mulai lebih baik dibanding semalam, meskipun radangnya masih menganggu. Perkiraan dokter dia hanya perlu bermalam sehari lagi, kemungkinan besar besok sudah boleh pulang.
“Di, ini yang ngurus kamarnya kamu, ya?” tanya Nadin, begitu dokter dan perawat meninggalkan ruang inap itu.
Ardi mengangguk.
Pantas saja. Kalau Olin yang mengurus, dia tidak mungkin ditempatkan di VIP. Sahabatnya itu tahu kartu BPJS-nya mendapat jatah kamar Kelas 1. Bukan bermaksud pelit untuk masalah kesehatan, tetapi dibanding membuang uang hanya untuk pelayanan VIP yang tidak terlalu dibutuhkannya, Nadin memilih menabung. Ditambah dia harus menginap semalam lagi. Jujur saja, Nadin sedikit enggan keluar sebanyak itu hanya untuk menginap di rumah sakit. Lebih baik dialokasikan untuk penginapan di hotel saat liburan, yang entah kapan akan dilaksanakannya.
Dia ingin pindah kamar, itu intinya. Tetapi, di sisi lain, dia tidak tahu bagaimana menyampaikan maksudnya pada Ardi.
“Mikirin apa?” tegur Ardi, melihat Nadin hanya diam.
Nadin menatap lelaki itu beberapa saat. Dia menarik napas pelan, memberanikan diri mengutarakan keinginannya. “Aku pengin pindah kamar.”
Dahi Ardi berkerut. “Emang kamar ini kenapa?”
“Kemahalan,” aku Nadin. “Sayang uangnya.”
Ardi berdecak. “Nggak usah pikirin itu.”
Gantian Nadin yang mengernyit. Bagaimana mungkin dia tidak memikirkan itu? Jelas-jelas nanti dia yang akan ...
“Aku yang urus.” Ucapan Ardi menghentikan pemikiran Nadin. “Yang penting kamu sembuh, jangan sakit lagi.”
“Bentar ...” tahan Nadin, mencoba meluruskan sesuatu. “Kamu yang urus itu maksudnya kamu yang mau bayar?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss The Past Goodbye
General FictionSejak bercerai dari istrinya dua tahun lalu, hidup Ardi hanya diisi dengan bekerja dan merawat Kaia, putri sematawayangnya. Dia tidak pernah memikirkan tentang berkencan lagi. Setidaknya, hingga dia bertemu Nadin. Bagi Nadin, Ardi bukan hanya pelang...