Tiga Belas [Flashback]

17.5K 1.7K 126
                                    

Hampir lima tahun yang lalu...

Ardi mengusap pelan punggung Ovi, sementara istrinya itu berbaring menyamping di ranjang kamar rawat inap sebuah RSIA. Sejak semalam, Ovi sudah mengeluh mulas, lengkap dengan sakit punggung. Dia nyaris tidak bisa tidur semalaman. Akhirnya tadi pagi Ardi menemaninya ke dokter. Niat awal periksa, berlanjut jadi rawat inap karena menurut dokter Ovi sudah mengalami pembukaan awal. Sebenarnya dokter tidak menyarankan rawat inap, karena ketuban Ovi belum pecah. Ovi masih bisa berjalan-jalan kalau mau. Tetapi, mendengar kata-kata ‘bukaan dua’ yang diucapkan dokter membuat Ardi mendadak panik dan memilih untuk rawat inap saja.

Keputusan itu cukup tepat. Siang ini, beberapa menit yang lalu, ketuban Ovi baru saja merembes, sementara pembukaannya sudah memasuki tahap empat. Ibu Ovi, yang mereka panggil Momi, tiba dari Bali pukul sepuluh tadi, bergabung dengan Mamah menemani Ardi di ruangan itu, sementara Papah masih di rumah sakit lain karena ada jadwal praktek. Ayah Ovi belum bisa datang karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Denpasar.

“Sayang, mau makan sesuatu?” tanya Ardi, melihat Ovi makin diam beberapa jam terakhir, dengan raut wajah terlihat jelas sedang menahan sakit.

Ovi menggeleng, lalu memejamkan mata seraya menggigit bibir saat kontraksi lain menyerangnya.

Ardi mengusap rambut Ovi, mengecup dahinya lamat-lamat, sembari terus mengusap punggung istrinya. Satu tangan mereka yang saling menggenggam menjadi pertanda bagi Ardi setiap kali kontraksi hadir lewat remasan Ovi. Jika bisa, Ardi ingin sekali bertukar posisi, atau berbagi rasa sakit yang sekarang harus dialami Ovi.

Ketika Ovi kembali membuka mata, Ardi melihatnya berkaca-kaca. Dia tidak bisa membayangkan seburuk apa rasa sakit yang dirasakan Ovi. Yang jelas, rasanya pasti semakin parah seiring berjalannya waktu.

“Kamu mau sesar, Yang? Biar cepet selesai sakitnya.”

“Nggak mau, nanti ada bekasnya.”

Di situasi normal, jawaban itu akan membuat Ardi mengomel panjang lebar. Tetapi, saat remasan Ovi di tangannya terasa lebih kuat, bagaimana wanita itu menempelkan dahi di lengannya sambil mencoba mengatur napas, Ardi menelan ucapannya.

“Coba gerak, Vi.” Mamah, yang tadinya duduk di sofa bersama Momi, beranjak menghampiri ranjang.

Momi mengambil birthing ball yang tergeletak di sudut ruangan. “Duduk di sini, sambil gerak-gerak. Diem gitu bikin sakitnya makin kerasa.”

Mengingat yang berbicara adalah dua ibu yang sudah pernah merasakan sendiri proses melahirkan, Ardi memilih menurut. Begitu juga Ovi. Ardi membantu Ovi turun dari ranjang, perlahan menduduki birthing ball.

“Gimana, Yang?”

“Sama aja.”

Ardi menarik kursi ke depan Ovi dan duduk di sana. Ovi menumpukan kedua tangannya di paha Ardi, sambil mencoba menggerakkan birthing ball yang didudukinya. Saat Ovi juga menempelkan dahinya di bahu Ardi, Ardi kembali mengusap-usap punggungnya.

“Aku nggak mau hamil lagi habis ini.” Suara Ovi terdengar bergetar.

“Iya,” balas Ardi.

“Anaknya satu aja.”

“Iya…”

“Kalau mau anak lagi, kamu hamil sendiri.”

Ardi mengulum senyumnya. “Iya, Sayang.”

Mengomel sepertinya lebih efektif bagi Ovi untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit, dibandingkan hanya diam. Jadilah dia terus mengoceh. Meskipun ocehannya lebih mirip ocehan orang yang berada di bawah pengaruh obat bius, melantur dan tidak jelas, Ardi membiarkannya saja.

Kiss The Past GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang