Hari Minggu ini Gemi menarik Ardi agar menemaninya dan Kaia mengikuti car free day. Selesai sholat subuh tadi, gadis itu melarang Ardi yang sudah berniat tidur lagi. Karena tidak bisa membawa Kaia pulang, Ardi menginap di rumah Mamah saat weekend.
“Ajak Kak Altair dong, A. Kangen juga sama dia.” Gemi menaik-turunkan alisnya.
Ardi berdecak. “Altair nggak mungkin udah bangun jam segini. Ketemuan di kafenya Nadin aja nanti, pulang CFD, kalau dia nggak bangun sore.”
“Ah … akhirnya aku dikenalin sama calon kakak ipar nih?”
Ardi melirik Gemi yang duduk di kursi sebelahnya, menjawab pertanyaan itu hanya dengan decakan singkat. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di lokasi CFD. Tidak tepat di lokasinya, karena kendaraan selain sepeda tidak boleh melintasi lokasi itu. Begitu mendapat tempat parkir, Ardi mengajak Kaia dan Gemi turun. Dia otomatis menggandeng Kaia erat saat melihat keramaian di depan mereka.
“Non, Papa gendong aja, ya?”
Kaia menggeleng. “Jalan aja,” tolaknya, menyambut Gemi yang berniat menggandeng tangannya yang lain.
Sejujurnya, Ardi belum pernah mendatangi car free day sejak program itu dijalankan pemerintah beberapa tahun lalu. Dia memilih menghabiskan waktu liburnya di rumah, tidur-tiduran bersama Kaia, bangun lebih siang dari biasa. Kalau bukan karena rengekan Gemi, dia mungkin benar-benar tidak akan pernah ke lokasi CFD ini. Begitu mendapati banyak manusia memenuhi Senayan pagi itu, Ardi sedikit kaget. Dia pikir selama ini CFD hanya dipenuhi ABG-ABG. Ternyata banyak juga keluarga yang menghabiskan libur di sana. Anak-anak dengan roller blade mereka, sementara para orangtua lebih memilih bersepeda.
Kaia menarik tangannya yang berada di genggaman Ardi. “Non mau sepatu roda, boleh nggak, Pa?” pintanya.
Ardi menatap anak perempuan yang meluncur dengan roller blade-nya tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Boleh. Nanti Papa ajarin mainnya gimana.”
“Ada yang senam tuh. Yuk ikut!” Gemi menarik Kaia, yang otomatis membuat Ardi juga mengikutinya.
Terakhir kali Ardi mengikuti senam pagi adalah saat SMA. Melihat usaha Kaia mengikuti gerakan senam orang-orang di depannya, juga Gemi yang sibuk menggoda anak itu, mau tak mau membuat Ardi tertawa.
Perhatian Ardi teralih saat merasakan ponsel di saku celana olahraganya bergetar. Nama Ovi muncul di layar. “Mi, jagain Kaia bentar. Jangan dilepas!”
“Iyee…” ujar Gemi.
Ardi menjauh dari barisan pesenam, juga suara musik yang membahana di sana. “Halo?”
“Hai, Di. Aku hari ini pulang bentar ke Jakarta. Lusa mau ada urusan di Bali.”
“Mau ketemu Kaia?” tebak Ardi.
“Iya,” jawab Ovi, langsung. “Ini aku udah mau boarding. Nyampe sana sekitar jam 1 atau jam 2-lah, paling cepet. Nanti aku langsung jemput dia dari bandara.”
“Oke. Jemput di rumah Mamah aja nanti.”
“Sip. Aku harus matiin hape sekarang. Thank you. Bye.”
“Safe flight,” ucap Ardi, sebelum memutus sambungan telepon. Dia menyimpan ponsel ke saku, kembali ke barisan tempat Kaia masih bergerak tak beraturan mengikuti peserta senam yang lain.
“Mama pulang, Non,” Ardi memberitahu Kaia, membuat anak itu berhenti bergerak. “Nanti jemput Non di rumah Oma.”
Wajah Kaia seketika menjadi cerah. “Mama pulang!” soraknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss The Past Goodbye
General FictionSejak bercerai dari istrinya dua tahun lalu, hidup Ardi hanya diisi dengan bekerja dan merawat Kaia, putri sematawayangnya. Dia tidak pernah memikirkan tentang berkencan lagi. Setidaknya, hingga dia bertemu Nadin. Bagi Nadin, Ardi bukan hanya pelang...