Ajakan makan malam Ardi beberapa waktu lalu ternyata gerakan awal. Setelahnya, Nadin menyadari kalau Ardi mulai memperlakukannya lebih dari sekadar pemilik kafe yang menyediakan kebutuhan kafein dan asupan gula yang dibutuhkannya untuk bekerja. Bukan hanya itu, Ardi juga mulai rajin menghubunginya lewat telepon atau chat, hal yang sebelumnya nyaris tidak pernah dilakukan lelaki itu, meskipun mereka sudah saling kenal cukup lama.
"Kaia nggak apa-apa kamu tinggal sendirian?" tanya Nadin. Belakangan ini kegiatan makan malam mereka menjadi lebih sering.
Ardi menggigit sate ayamnya. "Dia lagi diculik adikku."
"Adik kamu ... yang kuliah di New York?"
Ardi mengangguk. "Lagi liburan, bisa pulang tiga mingguan. Kaia jadi nggak dibolehin pulang, harus nginep sama dia."
Nadin menarik tisu untuk membersihkan sudut bibir Ardi yang belepotan bumbu sate. "Pantes papanya bisa kelayapan."
"Kaia ngerti kok. Dia tahu papanya udah lama nggak kelayapan sama cewek." Ardi menyeringai, mengambil tisu dari tangan Nadin.
Nadin merasakan pipinya menghangat, memilih meneruskan makannya.Selesai makan, Ardi langsung mengantar Nadin pulang, seperti biasa. Mobilnya berhenti di depan rumah kontrakan Nadin dan Olin. Kali ini, Ardi ikut turun, mengantar Nadin sampai ke pagar.
"Thank you," ucap Nadin.
"You're welcome," balas Ardi. "Makasih juga udah mau kuajak makan makanan murah."
Nadin tertawa. "Anytime. Aku nggak secerewet Altair sama Kaia, kok."
"Makanya aku suka ajak kamu makan malam," cetus Ardi.
Nadin pura-pura bersungut. "Besok-besok aku nagih fine dining deh."
"Atur aja," Ardi berkata santai. "Aku pulang, ya. Mau mampir rumah Mamah dulu, ketemu Kaia."
Nadin mengangguk. "Take care."
Ardi mencondongkan tubuh, mengecup pipi Nadin lembut. "Night," ucapnya.
Nadin terpaku, menatap Ardi yang kembali masuk ke mobilnya, lalu melaju pelan sampai menghilang di kejauhan. Tanpa sadar, tangannya terangkat menyentuh tempat di mana bibir Ardi tadi mendarat.
Jika ciuman ringan di pipi saja sudah membuat jantungnya jumpalitan seperti ini, bagaimana rasanya saat mereka benar-benar berciuman?
Bayangan itu sontak membuat wajah Nadin memerah. Tanpa bisa menahan seringai malu di wajah, dia memasuki rumah. Mobil sedan tua Olin sudah berada di carport, menandakan sahabatnya itu juga sudah pulang.
"Gimana kencannya?" tanya Olin dari ruang tengah.
"Lumayan," gumam Nadin, berusaha agar tidak terdengar terlalu girang.
"Diajak jajan pinggiran aja udah girang banget lo, gimana fine dinning."
Nadin mengabaikan ledekan Olin, memilh duduk di sofabed di samping sahabatnya itu. Dia merebut stoples keripik kentang dari pangkuan Olin, ikut menatap layar TV yang menampilkan infotaimen.
"Ada berita apaan?"
"Artis lahiran, kawin, cere. Biasalah." Olin memasukkan tiga keripik ke mulut, mengunyah dengan suara berisik.
"Ada kabar baru nih dari Ovi Sasmitha." Terdengar suara presenter. "Ini contoh entertainer sejati banget. Nggak pernah nyebar sensasi, sering ngasih berita positif. Keren deh."
"Keren banget," sambung partner-nya, seorang lelaki dengan gaya agak melambai. "Berita keren apa lagi nih yang dia bawa?"
"Kemarin, kan, sempet ada kabar kalau dia jadi presenter sekaligus juri acara modeling tingkat Asia gitu. Nah, sekarang kabarnya Ovi ini mau merambah dunia bisnis. Dia mau buka label perlengkapan make-up."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss The Past Goodbye
General FictionSejak bercerai dari istrinya dua tahun lalu, hidup Ardi hanya diisi dengan bekerja dan merawat Kaia, putri sematawayangnya. Dia tidak pernah memikirkan tentang berkencan lagi. Setidaknya, hingga dia bertemu Nadin. Bagi Nadin, Ardi bukan hanya pelang...