Dua Belas

17.6K 2.1K 105
                                    

Ardi berusaha mengenyahkan rasa kesal dalam hatinya saat membantu Kaia bersiap. Ovi baru saja meneleponnya, berkata kalau dia ingin mengajak Kaia makan siang hari ini, karena malam nanti dia kembali ke Singapura. Ketika Ardi menjelaskan kalau hari ini dia dan Kaia akan ke Bogor bersama Nadin, mantan istrinya itu mulai bertanya macam-macam. Ardi menjelaskan sebisanya, yang berakhir dengan adu mulut tidak jelas. Ovi menuduh Ardi tidak pengertian, dan Ardi berkata kalau Ovi tidak pernah berhenti menjadi egois. Begitu telepon berakhir, ditutup Ovi dengan penuh kemarahan, Ardi harus menenangkan diri selama setengah jam sebelum memutuskan keluar kamar untuk membangunkan Kaia.

“Jojo pernah ngatain Non nggak pernah ke taman tafari. Non nanti bilang udah ke sana.” Kaia mengangkat tangannya ke atas, sementara Ardi memakaikannya kaus.

“Non sama Jojo tuh temen bukan sih?” tanya Ardi, lanjut memakaikan celana selutut padanya.

Kaia berpegangan ke bahu Ardi, memasukkan satu per satu kakinya ke lubang celana. “Temen.”

“Kenapa berantem terus?”

“Dia yang mulai.”

Ardi mengambil salah satu ikat pinggang Kaia yang tergantung rapi di samping lemari, lalu kembali berjongkok di depan anak itu. “Temen itu harusnya saling sayang.”

“Papa sama Mama berantem. Tapi kata Papa tetep temen.”

Kaia mengatakan kalimat itu dengan nada polos, tetapi tak urung bagai tendangan telak di perut Ardi. Dia benar-benar menyesal dulu sering bertengkar dengan Ovi di depan Kaia, sampai pernah membuat anak itu ketakutan dan tidak mau berada di dekat mereka berdua, lebih memilih bersama Fitri.

“Sekarang nggak lagi, kan? Papa sama Mama nggak pernah berantem,” Ardi berdusta. Dia dan Ovi memang tidak pernah lagi bertengkar hebat. Hanya adu mulut biasa. Dan yang pasti, tidak di depan Kaia.

Ardi menggendong Kaia, mendudukkannya di kursi belajar supaya bisa memasang kaus kakinya. Setelah itu, Ardi menyisir rambut Kaia. Dia mencoba menguncirnya menjadi ekor kuda, tetapi tidak berhasil. Saat mencoba kuncir dua di kanan-kiri, tingginya tidak sama. Akhirnya dia hanya memakaikan bandana. Begitu selesai, Kaia melompat turun, berlari keluar kamar untuk mengambil sendiri sepatu yang ingin dipakainya.

Ardi buru-buru menyusulnya. “Nanti kepeleset, Non. Nggak usah lari.”

Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan kurang tiga menit, saat mobil Ardi akhirnya meninggalkan rumah menuju kediaman Nadin. Kaia sudah duduk tenang di boaster seat-nya, memainkan games puzzle di tablet Ardi. Lantunan lagu anak-anak mengisi ruang di mobil. Ardi menghindari memutar radio atau koleksi musiknya saat Kaia berada di mobil. Dia tidak mau putrinya seperti kebanyakan anak seusianya zaman sekarang, lebih hafal lagu dewasa daripada Twinkle Twinkle Little Stars. Alasan yang sama mengapa TV di ruang tengah diaturnya hanya bisa menampilkan channel khusus anak-anak, dan channel luar berisi ilmu pengetahuan seperti Discovery, Animal Planet, dan NGC. Fitri memiliki TV sendiri di ruang belakang kalau ingin menonton sinetron, acara dangdut, atau FTV hidayah favoritnya. Tidak boleh mengganggu channel di ruang tengah.

“Papa, Non mau kelinci,” ucap Kaia, tiba-tiba, menunjukkan hasil puzzle yang sudah disusunnya, menampilkan gambar sepasang kelinci.

Ardi pernah terpikir untuk mengenalkan Kaia pada hewan peliharaan dulu. Tetapi Ovi tidak setuju. Menurutnya, hewan-hewan itu sumber bakteri. Lebih baik menunggu sampai Kaia cukup besar.

“Hamster aja, gimana?” tawar Ardi. “Kalau Non udah bisa urus hamster, nanti baru Papa kasih kelinci.”

Kaia menggeleng kuat. “Kayak tikus.”

Kiss The Past GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang