Sepuluh

17.2K 2.1K 248
                                    

Nadin berusaha mengatur debar jantungnya ketika bangunan Pottani le Blanc mulai terlihat. Ardi menghentikan mobilnya di depan pintu masuk, membiarkan petugas valet mengambil alih memarkirkannya. Maître d’ menyambut mereka dengan senyum sopan.

“Selamat malam. Selamat datang di Pottani le Blanc,” sapanya.

“Selamat malam,” balas Ardi. “Saya ada janji temu dengan Kaivan Wardana,” jawab Ardi.

Maître d’ itu mengecek komputernya, lalu kembali tersenyum. “Mohon ditunggu sebentar, waiter kami akan mengantar Bapak dan Ibu menuju meja Pak Kaivan Wardana.”

Nadin baru kali ini fine dining di restoran ini. Sejak pindah ke Jakarta lebih dari setahun yang lalu, belum banyak tempat yang dikunjunginya. Dia dan Olin fokus membangun dan menjalankan Nad’s-Cave, lebih suka makan di rumah, atau memesan makanan yang sudah mereka ketahui dengan baik bagaimana kualitas rasanya.

Bersih, adalah hal pertama yang ditangkap Nadin mengenai interior tempat itu. Tetapi bukan bersih seperti yang ditemui di rumah sakit. Kesan putih di sana lebih lembut, menenangkan. Mewah, dengan hiasan chandelier kristal tergantung di langit-langit, dan berbagai ornamen khas Prancis.

Nadin menangkap sosok Ovi ketika waiter membawa dirinya dan Ardi ke bagian meja yang lebih private. Saat melihat mereka, senyum lebar Ovi terkembang. Dia melambaikan tangan, kemudian berdiri menyambut mereka.

“Kirain nggak jadi dateng.”

“Sori, telat banget. Aku baru bisa ninggalin kantor sekitar setengah delapan tadi,” jelas Ardi. Dia menyalami Ivan, yang ikut berdiri.

Nadin sempat mengamati penampilan Ovi sebelum mereka semua duduk. Wanita itu tampak sangat cantik. Mengenakan gaun backless selutut berwarna lime. Rambut ikalnya dikuncir menyamping, tersampir rapi di bahu kirinya. Makeup-nya seperti hasil karya make-up artist ternama, dan mungkin saja benar, mengingat betapa memukaunya wajah Ovi. Ivan sendiri tampil rapi dengan stelan hitam. Sama seperti Ovi, lelaki itu juga memiliki rambut ikal, berpotongan pendek, yang disisir ke arah kanan. Wajahnya hampir terlalu mulus untuk ukuran laki-laki, tanpa ada jambang atau kumis yang tumbuh. Jenis menarik ala boys next door.

Wine?” tawar Ardi, membuyarkan pikiran Nadin.

Nadin mengangguk, menerima gelas berisi red wine yang disodorkan Ardi. Nadin sama sekali tidak bisa memikirkan apa yang ingin dimakannya, jadi dia mengikuti saja menu pilihan Ardi. Selama menunggu, Nadin hanya mendengarkan ketiga orang yang duduk bersamanya saling bertukar cerita.

Ivan ternyata satu jurusan dengan Ovi, tetapi satu angkatan dengan Ardi. Sempat ada celetukan, entah bercanda atau tidak, mengenai Ivan yang ternyata sudah menyukai Ovi sejak kuliah, tetapi keduluan Ardi. Ardi sendiri tidak pernah berinteraksi dengan Ivan selama kuliah. Dia baru mengenal Ivan saat Ovi memperkenalkan keduanya hampir satu tahun yang lalu, saat acara ulang tahun Kaia.

“Berarti Kaia bentar lagi ulang tahun, ya?” tanya Ivan.

“Iya, bulan depan.” Ovi menatap Ardi. “Aku udah hubungi beberapa vendor tahun lalu.”

“Kamu nggak ribet apa ngurus pesta Kaia, ngurus pernikahan kalian juga?” tanya Ardi. “Pesta Kaia tahun ini biar aku aja yang ngurus. Kaia cuma minta ulang tahun di sekolah aja.”

Ovi menggeleng tegas. “Nggak kok. Ya, kan, Van?” dia meminta dukungan Ivan. “Aku dibantu wedding planner. Jadi, aku sama Ivan cuma ngikutin jadwal mereka aja, terima laporan, beres,” ucapnya. “Kita bikin acara di sekolah, terus pengajian sama anak-anak panti asuhan di rumah Mamah, gitu aja, ya?”

Kiss The Past GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang