Delapan [Flashback]

17.7K 1.8K 147
                                    

Enam tahun yang lalu...

Ardi sedikit terkejut mendapati Ovi sudah berada di rumah ketika dia pulang. Baru pukul 7 malam. Seharusnya baru dua jam lagi Ovi meninggalkan studio Hazel-Tov, agensi model tempatnya bergabung. Mendapati istrinya itu sudah duduk di sofa depan TV, membungkus tubuhnya dengan selimut tipis dan stoples Nutella di tangan, merupakan pemandangan langka yang terjadi di jam seperti ini.

“Tumben udah di rumah?” Ardi meletakkan tas laptopnya di meja kopi, lalu duduk di samping Ovi dan mengecup dahinya.

“Agak nggak enak badan,” jawab Ovi. Dia berganti posisi bersandar pada Ardi, yang dengan sigap membuka lengan supaya kepala Ovi bisa bertumpu di dadanya. “Diusir Mince, suruh pulang sebelum aku pingsan di sana.” Dia memeluk pinggang Ardi, masih dengan memegang stoples Nutella.

“Kamu sakit?” Ardi menempelkan dahi mereka untuk mengecek suhu tubuh Ovi. Memang agak sedikit panas. “Mau ke tempat Papah?”

“Nggak ah. Ngerepotin. Paling darah rendahku kumat bentar. Tadi aku kliyengan dikit, hampir jatuh.” Ovi menumpukan dagunya di bahu Ardi. “Hak sepatuku patah, Yang.”

“Kamu udah makan belum sekarang?” Ardi mengabaikan informasi berisi kode yang diucapkan Ovi terakhir.

Ovi mengangkat stoples Nutella-nya.

“Siang tadi makan apa?”

“Apa ya?” Ovi tampak mengingat-ingat. “Aku banyak minum tadi, jadi nggak ngerasa laper.”

Ardi berdiri, menarik Ovi bersamanya. “Ayo, cari makan. Terus mampir ke tempat Mamah.”

“Nggak usah, Ardi.” Ovi mencoba menahan Ardi tetap duduk. “Aku nggak apa-apa. Kamu tuh kebiasaan banget aku nggak enak badan dikit, ke tempat Papah.”

“Kamu mau ke dokter lain?”

“Bukan gitu,” Ovi ngomel. “Aku malu, tahu. Papah dokter bedah jantung hebat, meriksa pas aku cuma masuk angin.”

“Masuk angin bukan gejala atau nama penyakit.”

“Pokoknya gitu,” lanjut Ovi. “Tiap kamu bawa ke Papah, sakitnya ya gitu aja. Kecapekan. Papah geli juga kali lama-lama meriksa gituan.”

“Emang Papah pernah ketawa pas meriksa kamu?”

Ovi menatap Ardi sebal.

Ardi memilih berlutut di depan Ovi. “Gini, ya, Yang. Aku, kan, nggak bisa nemenin kamu seharian. Kalau kamu udah bilang nggak enak badan gini, aku besok nggak tenang kerjanya. Seenggaknya, tahu kamu emang nggak kenapa-kenapa bikin aku lebih tenang. Kerjaanku beres, bisa beli sepatu tiap bulan buat kamu.”

Ovi mencubit lengan Ardi, membuat lelaki itu meringis, lalu tertawa kecil.

“Nyenengin suami dapet pahala lho.” Ardi mengecup bibir Ovi sekilas.

Ovi menahan Ardi sebelum menjauh. “Nyenengin istri juga.”

“Kamu udah beli sepatu bulan ini.”

Ovi langsung cemberut. “Pelit.”

“Hemat. Tabungan buat rumah nggak cukup-cukup kalau kamu beli sepatu terus.” Ardi mencubit hidungnya, seraya berdiri untuk mengambil jaket Ovi, juga meletakkan tas laptopnya di kamar. Beberapa saat kemudian mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan menuju rumah orangtua Ardi.

Gemi, adik perempuan Ardi yang duduk di kelas XI SMA, membukakan pintu untuk mereka. “Sakit apa, Kak?” tanyanya pada Ovi.

“Nggak. Aa kamu aja tuh parno.”

Kiss The Past GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang